Berwisata adalah jalan menata kepenatan. Orang cepat lelah dan bosan akibat rutinitas harian yang melelahkan. Apalagi teknologi yang semakin canggih, tuntutan standar mutu dan kompetisi makin tinggi. Hal ini kadang dapat meningkatkan level stress setiap orang.
Berwisata berarti meninggalkan sejenak hal tersebut. Melepaskan diri dan terbuai dengan keindahan alam, memasukkan diri pada kebaharuan baik itu pengetahuan ataupun sekedar kenyamanan. Sendiri atau bersama dengan pasangan dan keluarga, yang pastinya bukan untuk rutinitas, adalah satu kebutuhan yang sebagian orang memahaminya sebagai "primary needs".
Saat ini, Covid 19 telah menghantam setiap sektor kehidupan secara dalam dan sangat parah, termasuk pariwisata. Namun Covid 19 juga memberikan pergeseran pada arah pariwisata yang dulu bersifat massal, tapi sekarang menuju pada pola spesifik berbasis kearifan lokal.
Wisatawan sadar bahwa kesehatan harus menjadi kepastian dari pelayanan kepariwisataan. Sehingga dengan memastikan lokasi tujuan dan penginapan menggunakan standar protokol kesehatan menjadi prasyarat kunjungan. Destinasi yang sifatnya unik dan tidak massal menjadi tujuan saat ini dan ini telah mulai menjadi perhatian para pengelola destinasi termasuk pemerintah daerah dan pelaku wisata lainnya.
Akhirnya sejalan dengan itu, desa wisata menjadi sangat penting. Wilayah yang masih mampu menawarkan originalitasnya adalah desa, meskipun beberapa telah mengalami pergeseran akibat datangnya pengaruh luar. Namun desa adalah karakter kewilayahan tunggal yang merujuk pada bersatunya kebiasaan, bentang alam dan budayanya. Iya mampu menunjukkan kearifan lokal di tengah kondisi alam dan struktur sosialnya. Inilah daya tarik yang sesungguhnya dibutuhkan oleh wisatawan saat ini.
Desa wisata akan menggerakkan banyak sektor. Pertanian, perkebunan, perikanan, budaya, sejarah, dan lain sebagainya yang akan menjadi wujud tematik yang bernilai wisata tinggi. Kemampuan menginterprestasikan alam sebagai batang tubuh yang hidup dan memberikan dampak kehidupan bagi semua makhluk akan terpahami secara beda di desa wisata. Jika itu dinikmati dan disatukan lewat edukasi yang dikelola oleh orang-orang yang ada di desa dan tentu akan berdampak lebih nyata. Bagaimana kayu dapat bermakna, ikan bernilai sakti, hewan tertentu tidak boleh dibunuh, ada "pantang-boleh", ada toleransi yang pada intinya berujung pada konservasi, tujuannya menjaga alam agar tetap seimbang.
Desa wisata menjadi wahana belajar, tempat kita memahami alam dan etika lingkungan. Iya harus mengedukasi wisatawan. Nilainya tidak lekang oleh panas dan tidak dirobah oleh pendatang. Sehingga memahami desa wisata adalah memahami keunikan sekaligus memberikan inspirasi dan kedamaian. Maka sisi bisnisnya seharusnya dilihat sebagai sebuah kompensasi dari kedatangan orang lain/ wisatawan untuk belajar memahami karakter kewilayahan yang unik, bukan malah mengeksploitasi keunikan untuk mendatangkan keuntungan bagi sekelompok orang. Iya harus memberikan manfaat kesejahteraan untuk semua warga desa dan manfaat bagi keberlanjutan lingkungan di desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H