Lihat ke Halaman Asli

Benny Wirawan

Mahasiswa Doktoral Kesehatan Masyarakat di UNSW Sydney

Cerpen | Anak Penurut

Diperbarui: 18 Januari 2019   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.idntimes.com

Minggu pagi Tina dan abangnya, Andi, dengan setia duduk di depan layar kaca. Mata terpana, mulut menganga, mereka menatap tingkah polah Doraemon dan Nobita dengan sesekali tertawa. Ritual di depan cembungnya layar televisi ini memang sudah menjadi tradisi saban Minggu pagi. Bocah-bocah kelas 1 dan 2 SD itu bangun pagi buta, menyalakan televisi di mana kartun kesayangan mereka setia menanti. Bersamaan, Papa bermain handphone sambil selonjoran di sofa dan Mama berjibaku dengan setumpuk pakaian untuk disetrika. Sebentar lagi, ketika setrikaan sudah habis bersamaan terdengarnya jingle penutup film kartun, Mama akan segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi bersama.

"Tina!" panggil Mama, tepat waktu. "Sini bantu Mama siapkan piring!"

"Aduh Mama, sekarang Tina mau nonton Barbie," kata Tina merajuk, sama seperti minggu yang sudah-sudah.

"Eh enak saja!" Andi menimpali, tangannya sigap merebut remot televisi. "Aku ngga mau nonton Barbie, kan kartun cewek. Aku mau nonton Dragon Ball."

"Tina, beri abangmu nonton. Kau bantu Mama di dapur."

"Kok Abang dikasih nonton? Kok aku engga? Kan aku juga mau nonton!"

"Biarkan saja abangmu, dia kan laki. Anak wanita itu harus bantu di dapur," kata Mama sambil menyelesaikan membereskan seterika lalu mendahului ke dapur.

"Hei, kau harus dengar Mama itu," kata Andi, mengejek. Televisi kini sudah milik Andi, Jingle Dragon Ball sudah mengisi. Sementara itu, Tina masih tepekur dilantai. Wajahnya cemberut, bibirnya ditekuk, ia merajuk.

"Tina, sejak kapan kau belajar melawan?! Siapa pula yang mengajar?! Sini, kau harus nurut sama orang tua! Atau mau Mama hitung?!" terdengar suara Mama dari dapur, mengancam.

Sebenarnya Tina sedang tak enak hati. Ada hal yang mengganjal dalam pikirannya suduah dua hari. Tapi apa daya. Kalau Mama sudah berhitung, Tina tak berani lagi. Ia tak tahu apa yang terjadi saat hitungan berhenti, tapi Tina tak ada niat menanti. Jika Mama sudah begitu, lebih baik menurut walau tak enak di hati. Akhirnya Tina segera bangun dari tepekur, langkah kecilnya menderap ke dapur.

Demikian satu lagi rutinitas Minggu pagi keluarga Tina dilalui. Tina membantu Mama menyiapkan piring dengan bibir yang terus cemberut. Bahkan setelah piring kembali dibereskannya selepas sarapan dan Tina sudah kembali ke posisi awal di depan cembungnya layar kaca wajahnya tetap ditekuk. Siaran film kartun di sisa Minggu pagi itu tak mampu memancing tawa Tina walaupun di sampingnya Andi terpingkal. Lelah merajuk Tina pun tertidur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline