Dalam tahun politik ini merupakan pertanyaan penting. Dengan 4,5 juta aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia mereka dapat menjadi kelompok elektoral yang berpengaruh. Banyak dari mereka juga berada dalam posisi berpengaruh: dosen, guru, dan pelayan masyarakat. Dengan posisi ini mereka dapat dengan mudah mempengaruhi pikiran masyarakat baik melalui sisipan-sisipan halus atau dengan koersi dan diskriminasi layanan.
Tentu saja bagian dari polemik ini adalah definisi kata 'berpolitik' yang ambigu. Aktivita seperti apa sajakah yang termasuk berpolitik? Apakah berpolitik terbatas pada ikut serta dalam berkampanye saat pemilu? Dalam hemat saya politik adalah suatu kata kerja yang luas.
Dalam pemahaman masyarakat luas - dan saya di dalamnya - politik berarti segala aktivitas yang bertujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk siapa kekuasaan itu direbut? Haruskah untuk partai atau salah satu kandidat tertentu? Belum tentu. Manusia politik dapat berupaya merebut kekuasaan itu untuk pihak yang menurutnya pantas. Pihak itu dapat berupa seorang tokoh, partai politik, atau suatu golongan tanpa bentuk yang menganut faham tertentu.
Salah satu riak permukaan mengenai polemik ini adalah isu radikalisme guru dan kampus. Beberapa survei belakangan ini menemukan masyarakat Indonesia semakin tidak toleran. Intoleransi ini rupanya telah menembus para guru yang menyiapkan generasi depan. Pun juga para dosen dan mahasiswa yang merupakan golongan intelektual masa depan tak lepas dari bayangan radikalisme.
Pun juga menjadi pertanyaan mengenai definisi dari ASN itu sendiri. Siapa sajakah yang termasuk ASN? Beberapa waktu lalu terdapat polemik mengenai netralitas kepala daerah dalam pemilu. Apakah kepala daerah yang dipilih langsung melalui proses politik itu kemudian menjadi ASN yang harus apolitik?
Secara hukum kepala daerah harus dicalonkan oleh partai politik dan kemudian dipilih melalui proses politik. Akan menjadi sesuatu yang absurd saat suatu posisi yang bersifat apolitik diwajibkan secara hukum untuk diisi oleh seorang aktor politik melalui proses politik.
Lalu bagaimana dengan kepala desa? Secara hukum mereka pun dipilih melalui proses pemilihan demokratis di tingkat desa. Akan tetapi, berbeda dengan bupati dan gubernur, kepala desa umumnya tidak berpartai dan dengan demikian bukan merupakan 'politisi' dalam arti konvensional.
Akan tetapi posisi kepala desa juga termasuk dalam jajaran pemerintahan dan dengan demikan ASN. Apa mereka juga harus apolitis? Jika iya, apa yang membedakan mereka dengan bupati, wali kota, dan gubernur?
Polemik ini nyata adanya karena tidak sedikit kepala desa memiliki ambisi politik yang lebih tinggi. Di Gianyar, salah satu kabupaten di Bali, tidak kurang dari 5 kepala desa maju sebagai calon legislatif (caleg)di berbagai tingkat. Untuk itu mereka mengundurkan diri dari jabatan kepala desanya. Di Pangandaran justru aktivitas politik praktis dilakukan oleh beberapa oknum kepala desa menjabat.
Pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya telah mengambil posisi dalam polemik ini. Mereka secara tegas melarang aktivitas politik ASN, dalam bentuk apa pun. Hukumannya yang berupa administratif, pemberhentian, hingga pidana dan telah dijatuhkan pada beberapa kepala desa yang ketahuan terlibat politik praktis. Pun juga politik ideologis. Ketika 4 orang dosen PNS ditemukan 'terpapar' faham 'radikal' Menristekdikti mengancam akan memecat mereka.
Netralitas ASN memang sudah menjadi norma dalam negara demokrasi. Yang ekstrim adalah ASN di Indonesia tidak hanya dilarang tergabung dan ikut serta dalam organisasi dan kegiatan politik, mereka juga dilarang berpendapat politis. Masalah muncul ketika larangan berpolitik ini kemudian melekat pada diri ASN tersebut: