Ahok kembali menjadi sumber berita. Kali ini bukan karena prestasinya memerintah Jakarta. Bukan pula karena isu SARA. Melainkan isu pribadi, suatu masalah yang sangat personal. Ia dikabarkan akan bercerai dengan istrinya selama 20 tahun.
Berita ini hampir dapat dipastikan kebenarannya. Walaupun sebagai pendukung Ahok saya kecewa, tak ada gunanya menyangkal dan berteriak hoax saat isu ini sudah dikonfirmasi pengadilan, pengacara, bahkan adik Ahok sendiri. Pada titik ini menyeru hoax hanyalah sebuah denial. Bahkan, dapat dikatakan ngotot menolak kenyataan rencana perceraian Ahok pun merupakan sebuah hoax.
Walaupun sudah hampir pasti benarnya, penyebab perceraian Ahok masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan ini merupakan usaha melindungi keluarga dari kejamnya politik Indonesia. Walaupun populer dalam massa pro-Ahok, musuh politiknya memutar cerita dengan mengatakan Ahok berusaha melindungi keluarga dan aset pribadi dari kemungkinan kasus korupsi. Tak ayal ada isu yang mengatakan perceraian ini merupakan masalah rumah tangga klasik: perselingkuhan.
Entah karena politik atau masalah pribadi, perceraian Ahok tentu mengundang tanda tanya lebih besar: apa akibatnya bagi karir politik Ahok?
Tak dapat disangkal Ahok merupakan aktor politik kelas berat saat ini. Di Jakarta saja ia masih mendulang 46% suara walaupun diterjang isu SARA dan masalah hukum. Massa pendukung Ahok tak hanya berpusat di Jakarta tapi di seluruh Indonesia. Saat ia divonis bersalah gerakan solidaritas terjadi secara spontan di hampir semua kota besar Indonesia. Tak kurang, Willy Aditya, Wasekjen Partai Nasdem, menulis bahwa Ahok merupakan 'martir demokrasi' Indonesia.
Di tahun politik 2018, arah suara pendukung Ahok dapat menjadi penentu hasil pilkada di berbagai tempat. Dengan demikian, pertanyaan mengenai dampak perceraian Ahok terhadap loyalitas pendukungnya menjadi sangat penting.
Banyak pihak yang menduga (dan tentu ada yang mendoakan) masalah ini akan menjadi akhir karir politik Ahok. Dengan riwayat hukum yang tercoreng vonis bersalah (walaupun dipandang skeptis pendukungnya), masalah ini menjadi pukulan bagi riwayat pribadi Ahok. Tak dapat dibantah pula, sebagian pendukung Ahok menyatakan kecewa dengan keputusan ini. Walau begitu, belum diketahui apakah kekecewaan ini akan menjelma menjadi perubahan dukungan politik.
Di tengah skeptisme terhadap masa depan politik Ahok di tengah perkara hukum dan cerai, saya justru ingin optimis. Sesungguhnya, perceraian seorang politisi bukanlah sesuatu yang maha langka. Bukan pula melulu cerai menjadi pembunuh karir politik seseorang. Mulai dari Raja Henry VIII dari Inggris hingga Vladimir Putin, banyak pemimpin besar dunia bercerai dari istri mereka dengan berbagai alasan dan berbagai konsekuensi.
Mengingat Ahok adalah seorang ikon hak minoritas Indonesia, mari kita tarik paralelnya dengan pejuang hak sipil minoritas lain: Nelson Mandela dan Martin Luther King. Nelson Mandela adalah pejuang kemanusiaan dari Afrika Selatan yang berhasil menggulingkan rezim rasis Apartheid melalui jalur demokratis lalu menjadi presiden berkulit hitam pertama di negeri mayoritas kulit hitam. Sementara itu, Martin Luther King memimpin gerakan hak sipil yang menjamin kesetaraan bagi warga kulit hitam Amerika Serikat melalui amandemen konstitusi. Keduanya merupakan nama besar hak sipil dan menerima Nobel Perdamaian. Tetapi, tahukah Anda mereka berdua memiliki masalah rumah tangga?
Nelson Mandela bercerai dengan istri pertamanya ketidaksesuaian visi politik. Istrinya adalah seorang Saksi Yehovah, suatu aliran Kristen yang mengharuskan netralitas politik. Tentu iman ini tidak sesuai dengan visi Mandela yang merupakan aktivis politik dan HAM. Masalahnya, sebelum resmi bercerai dengan istri pertamanya, Mandela telah menjalin kasih dengan Winnie Madikizela, sesama aktivis hak sipil, yang akhirnya menjadi istri keduanya. Walaupun selama 30 tahun bersama berumah tangga (27 tahun di antaranya dengan Mandela dalam penjara), akhirnya mereka bercerai pada 1996. Saat itu Mandela masih menjabat Presiden Afrika Selatan. Tiga tahun kemudian, Mandela menikah lagi dengan istri ketiga dan terakhirnya.
Sementara itu, riwayat pernikahan Martin Luther King bahkan lebih kelam lagi. Walaupun kompak memimpin Gerakan Hak Sipil bersama istrinya, Coretta Scott King, rupanya King tidak lepas dari kelemahan pria: wanita idaman lain. Tidak hanya satu, King menjalin hubungan dengan banyak wanita di berbagai kota besar Amerika Serikat yang dikunjunginya selama memperjuangkan kesetaraan hak. Lebih dari itu, perselingkuhan King diketahui FBI yang saat itu berusaha meredam Gerakan Hak Sipil dan dijadikan bahan intimidasi selama sisa karir King.