Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Indonesia dan Bayang-bayang Fasisme

Diperbarui: 4 Januari 2018   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: counterpunch.org

Tahun 2017 merupakan suatu tahun yang formatif. Ada banyak aspek kehidupan yang berbangsa yang baru terkuak setelah hampir 20 tahun Reformasi. Isu lama seperti intoleransi beragama yang kian merongrong. Isu baru seperti hak LGBT pun membayang. Tak ayal, komitmen bangsa terhadap demokrasi pun digoyang dengan isu khilafah dan segala kontroversinya.

Salah satu kenyataan yang terkuak dari kekacauan sosial-politik 2017 ini adalah dangkalnya komitmen bangsa terhadap demokrasi. Memang, bagi sebagian (besar) elemen bangsa demokrasi hanyalah sebuah jargon, kata manis yang diucapkan politisi dan aktivis dalam televisi. Hal ini tampak dari banyaknya opini masyarakat mendukung kebijakan-kebijakan non-demokratis.

Dukungan semacam ini tampak simetris pada kedua kubu politik. Kubu konservatif pendukung khilafah tak pernah malu menyatakan ke-anti-annya terhadap demokrasi. Di lain pihak, anti-khilafah mendukung UU Ormas yang mengekang kebebasan berorganisasi serta mengaburkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Pada topik lain, mainstream kedua kubu sepakat anti-HAM seperti dalam isu hak LGBT serta perjuangan kemerdekaan Papua.

Kenapa bisa begini? Bukankah bangsa ini pernah disanjung dunia akibat derasnya arus Reformasi dan demokratisasi?

Menurut saya, penyebabnya adalah adanya kecenderungan demokrasi karbitan. Demokrasi dipaksakan sebagai suatu cita-cita yang tidak dimengerti orang Indonesia sendiri. Jika dilihat sejarahnya, demokratisasi berawal dari demo anti-Orba 1998 yang berujung Reformasi. 

Tapi, apa alasan gerakan anti-Orba ketika itu? Apakah karena Orba represif? Bukankah bangsa tenang-tenang saja selama 32 tahun Orba, bahkan cenderung mendukung program-program represifnya atas nama 'ketertiban umum'? Walaupun benar ada hasrat demokratisasi pada kalangan kampus, libido ini tidak tersebar ke kalangan masyarakat awam yang tidak pernah merasakan nikmatnya pertisipasi pemerintahan.

Pada 1998 Indonesia tidak memiliki pemerintahan demokratis selama 39 tahun sejak berakhirnya Era Demokrasi Liberal dan dimulainya Demokrasi Terpimpin Soekarno. Era Orde Baru yang menggantikan Demokrasi Terpimpin tidak lebih baik, bahkan cenderung lebih anti-demokrasi. Efeknya, pemilih potensial pada 1998 tidak ada yang pernah merasakan demokrasi dengan pemilu bebas, debat terbuka, dan pemerintah akuntabel. 

Nyatanya, perlawanan terhadap Orba tak lebih dan tak bukan merupakan ekses kekacauan ekonomi pasca Krisis Ekonomi 1997. Seandainya ketika itu Soeharto sama mahirnya menyetir ekonomi seperti SBY pada 2007, bukan tak mungkin Orba masih berkuasa hingga kini.

Setelah Reformasi Indonesia mendadak memasuki era demokrasi. Suatu bangsa tanpa pengalaman demokrasi diberi hak memilih seluas-luasnya. Bahkan, pada 2004 rakyat dapat memilih langsung semua wakilnya di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif.

Pertanyaannya, apa rakyat Indonesia siap? Bagaimana dengan institusi sosial-politik yang menjadi modal demokrasi? Pada 2004 hingga 2009 Indonesia terlihat semakin matang berdemokrasi. Ketidakmatangan politik mulai terkuak pasca Pemilu 2009. Ketika itu kita mengamati meningkatnya pola kampanye negatif, suatu pola komunikasi politik yang menekankan keburukan lawan dibandingkan mengembangkan pesan kebijakan yang koheren. 

Pada Pemilu 2014 Jokowi vs. Prabowo, kampanye negatif mencapai puncaknya. Apa yang Anda ingat dari kampanye Pilpres 2014? Mana yang lebih membekas di benak Anda: komitmen 1000 hektar sawah (janji kebijakan Prabowo) atau isu Jokowi komunis (atau Cina, anti-Islam, liberal, dll. Harus diakui, Jokowi lebih banyak menjadi korban kampanye negatif). Sejak 2014, tren kampanye negatif makin meningkat dalam politik Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline