Lihat ke Halaman Asli

Kisruh APBD DKI 2018 adalah Warisan Ahok

Diperbarui: 2 Desember 2017   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

APBD DKI Jakarta 2018 telah resmi disahkan DPRD. Proses pengesahan ini mungkin yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Belum pernah ada APBD di Indonesia yang dikritisi sedemikian ketatnya. Mulai dari pembengkakan anggaran TGUPP, pembangunan kolam, hingga penerima hibah yang tak terverifikasi. Itu adalah sekelumit cerita dari masalah yang menerpa proses pembahasan APBD ini.

Sadarkah Anda jika semua itu salah Ahok?

Kok bisa? Tentu saja ada hubungan langsung dan tak langsung keterlibatan Ahok dalam kisruh APBD DKI Jakarta 2017. Ya, Ahok memang terlibat dalam masa-masa awal pembahasan raperda ini. Walau hanya selama kurang lebih 2 bulan (Ahok dipenjara sebelum pembahasan selesai), itu menjadi salah satu keterlibatan langsung Ahok. Tetapi selain itu, kisruh APBD ini bisa dikatakan warisan dari 3 tahun kepemimpinan Ahok di Jakarta.

Salah satu akar masalah kisruh APBD 2018 ini berawal 3 tahun yang lalu. Ya, salah satu terobosan Ahok setelah menjabat gubernur adalah program e-budgeting. Program ini menyajikan proses penganggaran APBD secara transparan kepada masyarakat. Siapa pun yang peduli dapat dengan mudah mengakses RAPBD dan APBD DKI Jakarta sejak perancangan APBD 2016 pada 2015 yang lalu. Tidak hanya produk akhir, masyarakat dapat juga mengakses draft-draft e-musrenbang, KUA-PPAS, hingga RAPBD hasil bahasan Banggar DPRD.

Lalu, apa hubungannya e-budgeting dengan kisruh RAPBD yang terjadi belakangan?

Tentu saja berhubungan. Bayangkan seandainya tidak ada e-budgeting, apakah mungkin terjadi kritisi mendalam terhadap RAPBD 2018? Mungkin tidak. Kenyataannya proses pembahasan APBD (dan raperda serta RUU sekalipun) merupakan proses yang sangat tertutup. Walaupun dilakukan dalam sidang terbuka, 'masyarakat' hanya diwakilkan oleh para kuli tinta (baca: wartawan) di ruangan. Tidak mungkin bukan para warga biasa yang harus bekerja menghidupi keluarga untuk hadir dan melihat langsung pembahasannya?

Saksi-saksi pembahasan APBD ini berjumlah sangat sedikit. Anggota dewan, gubernur, wakil gubernur, SKPD, dan wartawan jika digabungkan jumlahnya tak sampai 200 orang. Jika mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang saling terkait, sangat mudah untuk melakukan kolusi dan menyembunyikan kejanggalan-kejanggalan dalam anggaran. Kesempatan berikutnya untuk mengetahui adanya kejanggalan adalah saat APBD sudah disahkan. Pada saat itu nasi sudah menjadi bubur, raperda sudah menjadi perda dan Pemda berkewajiban menjalankannya.

E-budgeting memberi ruang bagi siapa saja untuk mengkritisi RAPBD, termasuk masyarakat awam. Syaratnya hanya satu: memiliki akses internet. Kritik ini akan datang bertubi-tubi bagi pasangan Anies-Sandi yang nota bene terpilih dalam Pilkada 2017 yang sangat sarat dengan perpecahan.

Ini pun merupakan warisan Ahok.

Selama kepemimpinannya, Ahok merupakan sosok politik yang sangat divisive.Masyarakat Indonesia (tidak hanya Jakarta) seolah harus memilih apakah mendukung atau melawan Ahok. Pilihlah sebabnya: gaya bicara yang cenderung kasar dan blak-blakan, program-program, retorika yang anti-parpol serta political establishment, kebijakan yang (katanya) anti-rakyat miskin, dan tentu saja, statusya sebagai minoritas etnis-agama. Oleh karena itulah selama masa kepemimpinannya Ahok selalu didera keluhan serta kritik. 

Para lawan politiknya yang datang dari berbagai kubu (kubu agama, pemain politik lama, hingga LSM pro-rakyat miskin) bertubi-tubi mempertanyakan berbagai kebijakannya. Tetapi Ahok juga memiliki basis massa setia yang berasal dari kalangan berpendidikan dan ekonomi kelas menengah yang besar di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline