Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Percakapan di Akhir Malam

Diperbarui: 28 November 2018   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 1 bulan Adam terbaring di rumah sakit ini, berbagi bangsal dengan 7 pasien lain. Ia berjuang melawan kanker paru-paru. Setiap hari menjadi perjuangan tersendiri. Dengan bersenjatakan obat ini dan itu ia bertahan hingga kini. Tapi ia tau ia berperang di pihak yang kalah. Semakin hari tubuhnya sedikit lebih nyeri, nafasnya sedikit lebih berat. Ia sekarat.

Malam ini, seperti malam-malam terakhirnya, ia terjaga. Nafasnya sesak membuat tidur menjadi berat. Jadi ia melakukan kegemaran barunya: mendengarkan.

Malam ini sepi, seperti biasanya. Adam bisa mendengar suara orang-orang yang tidur. Beberapa penunggu pasien mendengkur di lantai, lelap beralaskan tikar seadanya. Pasien-pasien tidur gelisah. Nafas-nafas berat yang kadang merintih membedakan si sakit dari si sehat.

Di bawah tempat tidurnya ia mendengar dengkuran anak dan istrinya. Anak yang sangat dicintainya, satu-satunya alasan pernikahannya masih ada. Istri yang dinikahinya dengan terpaksa namun setia juga merawatnya, terlepas dari perceraian yang mereka rencanakan. Merekalah suka dan duka hidupnya, satu dari sedikit yang tersisa baginya.

Tak ada hal menarik untuk didengar, Adam pun mengkhayal. Dengan nafas tersengal ia mengingat mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Ia mengingat masa mudanya yang penuh cita-cita. Ia membayangkan tempat-tempat yang ingin dikunjunginya, hal-hal yang ingin dipelajarinya, orang-orang yang ingin dikenalnya.

Semuanya tak sampai. Ia tak punya lagi waktu untuk semuanya itu. Kini, hanya rumah sakit dan poliklinik yang dapat ditujunya, hanya dokter dan perawat baru yang akan dikenalnya.

Sekelabat gerakan di sudut mata mengganggu khayalnya. Sesosok manusia memasuki ruangan tanpa suara. Tapi... manusiakah itu? Tudung hitam legam menutupi setengah wajahnya dan jubah segelap malam menyembunyikan tubuhnya. Pintu di belakangnya tertutup rapat, tak terdengar suara terbuka ataupun tertutup.

Mendadak Adam menyadari tak ada lagi dengkuran dan rintihan yang belakangan ini menemani malamnya. Ia tahu jantungnya pasti berlari di dalam dada, tetapi degup itu tak terdengar olehnya. Yang ada hanya sepi. Hening.

Tanpa suara sosok itu berjalan - tidak, melayang! - menghampirinya. Sosok itu berdiri di sebelahnya, Adam dapat melihat bibir dan dagunya. Mirip manusia. Tapi mirip bukan berarti sama. Bukankah lelap juga terlihat seperti maut? Mungkin Ajal pun menyamar seperti insan.

"Ajal, Maut, kau kah itu? Ini kah waktuku?" tanya Adam pada sosok itu.

"Benar. Aku datang menjemputmu. Aku akan menemani dan menuntunmu menyeberang," jawab sosok itu, Maut, dengan lembut. Suaranya terdengar seperti wanita, layaknya seorang ibu. Sudut bibirnya sedikit melengkung, seperti tersenyum. Tapi matanya tetap gelap, terselubung bayang-bayang tudung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline