Buni Yani divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara. Dewan hakim memutuskan ia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar UU ITE "dengan sengaja dan tanpa hak dan melawan hukum mengubah menambah, mengurangi, menghilangkan dokumen elektronik milik orang lain". Pelanggaran ini tentu saja merujuk pada kontroversi kata 'pakai' dalam pidato Ahok versi unggahan Buni Yani. Ia memotong 30 detik video asli sehingga ucapan Ahok "...dibohongi pakai Al-Maidah 51..." menjadi "...dibohongi Al-Maidah 51..."
Pendukung Ahok pun bersorak. Putusan ini seolah menjadi pembenaran posisi Ahok sebagai korban kezaliman Buni Yani. Pertanyaan berikutnya pun terlontar: apakah putusan Buni Yani mempengaruhi status narapidana Ahok?
Secara sepintas mungkin kasus Ahok dan Buni Yani bak dua sisi koin. Kasus Ahok berawal dari video pidatonya yang diunggah Buni Yani. Masalah terletak pada implikasi ayat suci Al-Quran yang berbohong. Tetapi, pendukungnya segera menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah hasil editan sang pengunggah, bukan kata-kata Ahok yang asli. Jadi, jika video yang menjadi masalah memang hasil editan, layakkah Ahok divonis bersalah?
Nyatanya, fakta pengadilan Ahok awal tahun ini telah menggunakan kata-kata edisi non-editan. Dalam penjelasannya, dewan hakim mengutip kata-kata Ahok sebagai "...Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu..." Vonis bersalah pun didasarkan pada predikat 'bohong' yang dilekatkan pada Surat Al-Maidah 51. Terlepas dari ada tidaknya kata 'pakai' Ahok tetap tervonis bersalah. Jadi, kemungkinan besar putusan bersalah Buni Yani tidak akan memperingan hukuman Ahok.
Justru sebaliknya, putusan Ahok akan menjadi batu sandungan upaya banding Buni Yani. Fakta hukum dalam putusan Ahok tersebut dapat dijadikan alat bukti dalam pengadilan Buni Yani. Bagaimana pun, pengadilan telah menerima adanya kata 'pakai' dalam peristiwa yang bermasalah. Jika kemudian pengadilan menyatakan tidak ada editan maka akan terjadi kontradiksi putusan pengadilan.
Pasca putusan Buni Yani naik banding dengan alasan ia bukanlah yang pertama mengunggah video. Jika akhirnya terbukti Buni Yani tidak bersalah mengedit video, maka akan membuka pertanyaan baru: siapa yang mengedit video? Fakta pengadilan Ahok menuntut adanya seseorang yang mengedit video karena jelas ada perbedaan antara video viral yang bermasalah dengan uraian putusan hakim.
Kesimpulannya, secara hukum Indonesia sangat mungkin Ahok dan Buni Yani sama-sama bersalah. Ahok bersalah mengonotasikan ayat suci dengan predikat negatif. Buni Yani bersalah menyebarluaskan misinformasi yang berujung pada kerugian orang lain dan keresahan masyarakat.
Akan tetapi, secara moral dan etik saya rasa kesalahan mereka tidaklah setara.
Hukum yang dilanggar Ahok bersifat sangat kontroversial. Hukum penistaan agama (blasphemy law) adalah hukum kontroversial yang telah dicabut di sejumlah negara. Alasannya adalah mudahnya hukum tersebut menjadi pasal karet yang membatasi kebebasan berpendapat warga negara.
Agama dijadikan obyek tabu yang tidak boleh dikritik. 'Kritik' terhadap agama (dan hal-hal terkait) dianggap menista dan melanggar hukum. Akan tetapi, batasan antara kritik dan penistaan ini menjadi tidak jelas. Batasan terhadap agama sebagai obyek yang dinista pun tidak jelas.
Pakailah kasus Ahok sebagai contoh. Pernyataan Ahok sebenarnya menyasar lawan-lawan politiknya yang menggunakan ayat suci sebagai alat kampanye. Ia tidak menyebut ayatnya salah, tetapi penggunaannya di luar konteks keagamaan lah yang bermasalah.