Lihat ke Halaman Asli

Perlukah Citarum Diselamatkan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ingatan tentang Sungai

Tubuh manusia terdiri dari 90% air, keringat, urine, saliva dan lain sebagainya bahan dasarnya adalah air. Karena kebutuhannya yang tinggi terhadap air, manusia selalu berusaha tinggal dan hidup dekat dengan sumber-sumber air. Sumber air disini, selain mata air, sumur dan telaga adalah sungai. Sungai menjadi popular sebagai penyedia air bagi kehidupan manusia dan masyarakatnya, karena sungai memberikan kemudahan bagi mereka untuk dapat mengambil airnya dengan mudah. Bisa kita bayangkan jika tidak ada sungai, kita harus mendaki puncak gunung untuk sekedar mengambil beberapa jerigen air saja. Kalaupun berniat memasang pipa, bisa dibayangkan ruwetnya jaringan pipa yang harus dipasang dari sumber mata air menuju pemukiman manusia. Sejarah peradaban manusia tidak pernah lepas dari sungai, bukankah kerajaan-kerajaan kuno Nusantara ini awalnya selalu berdekatan dengan sungai. Sungai-sungai Nusantara, konon, dulunya bisa dilalui dan dilayari kapal-kapal besar.

Sebenarnya tidak hanya manusia yang membutuhkan sungai. Alam juga membutuhkan sungai, karena hanya dengan sungailah, air didistribusikan dan dialirkan ke banyak tempat. Demikian juga dengan sawah, ladang dan kebun, mereka membutuhkan sungai untuk dapat menyerap air. Sungai adalah pemberian dan hadiah paling besar yang diberikan Tuhan kepada manusia, gratis. Manusia dan makhluk hidup lainnya hanya memanfaatkannya, tidak lebih.

Saya ambil contoh, Perusahaan Air Minum, adalah salah satu korporasi milik pemerintah yang sangat menggantungkan hidupnya pada keberadaan sungai. Pekerjaannya yang berusaha untuk menyediakan air bersih, menjadikan PAM harus berpartner dengan sungai yang menyediakan bahan bakunya. Disini, persoalan yang perlu dibaca ulang menyangkut baku mutu air sungai adalah kebersihan sungai itu sendiri. Air sungai yang bersih mempermudah dan mempercepat proses pemurnian air sungai menjadi air minum, namun jika air sungai kotor, maka diperlukan waktu proses yang  panjang untuk memurnikannya. Bisa kita bayangkan jika PAM selalu terlambat mengalirkan air ke kran-kran di rumah kita, Surat Pembaca Kompas pasti akan penuh dengan ketidak senangan dan ketergangguan kita dengan terlambatnya air PAM.

Persoalan Lupa

Semakin tua manusia, ingatannya akan semakin tidak tajam. Pikun atau pelupa, adalah "penyakit" yang selalu menjadi stigma negatif  dan menjangkiti manusia-manusia yang sudah banyak umurnya, tua. Perumpamaan tentang penyakit ini saya angkat bukan untuk mengolok-olok orang pikun, tetapi sebagai pengingat, bawa kita tidaklah boleh lupa akan hal-hal yang berbau warisan. Apapun bentuk peninggalan peradaban manusia seharusnya ditanamkan ke dalam ingatan dan diteruskan pada generasi selanjutnya.

Kita coba bicara tentang sungai lagi. Kali ini coba kita fokuskan pandangan dan perasaan kita pada keberadaan sungai, lebih spesifik lagi sungai Citarum. Berapa banyak dari kita yang pernah membaca sejarah sungai ini? Keberadaan sungai Citarum ini bahkan lebih tua dari kerajaan Tarumanegara yang lahir pada abad ke-3 masehi. Bahkan menurut para ahli sungai anak negeri ini, mengatakan jika sungai Citarum sudah ada sebelum ada peradaban manusia. Dulu, sungai Citarum adalah nadi kehidupan rakyat dan kerajaan. Kemakmuran hanya bisa didatangkan melalui air sungai. Oleh sebab itu, kita tidak boleh "pikun" akan sejarah pentingnya sungai Citarum. Meskipun sudah sangat tua, namun Sungai Citarum tidak pernah lupa untuk selalu mengalirkan airnya pada manusia-manusia disekitarnya. Citarum tidak pernah pilih kasih dalam memberikan airnya, hanya saja, manusia semakin lupa akan betapa berharganya sungai.

Karena modernisasi, manusia lebih mementingkan kemudahan, akibatnya, sampah-sampah, kotoran-kotoran tak terurai seperti plastik menjadi pemandangan lumrah disekujur badan sungai Citarum. Manusia lupa dan pikun akan pentingnya keberadaan sungai Citarum. Sungai Citarum yang dulu mengatur manusia-manusia lama, sekarang perlu diatur oleh manusia baru. Air sungai Citarum, yang katanya jernih, sekarang berganti menjadi coklat susu, tak tampak lagi keringan sirip-sirip ikan sungai menyapa manusia dari dasar sungai yang bening. Kita telah melupakan bagaimana air yang mengucur dari kran ledeng kita adalah air Citarum. Ya benar, Citarum sebagai sungai yang mengalirkan air bagi kehidupan manusia telah dilupakan dari ingatan kita. Citarum tidak lagi dihormati sebagai sungai, Citarum lebih diposisikan sebagai tukang sampah yang setia mengangkut sampah-sampah manusia disekitar tepiannya, dengan tidak perlu membayar iuran.

Penyakit lupa dan pikun ini semakin parah kadarnya bila kita bicara tentang limbah buangan. Apapun usaha manusia, meskipun untuk kesejahtaraannya, tetap saja melupakan tentang jernihnya sungai Citarum yang dihuni oleh berbagai macam biota air tawar. Sungai Citarum bagi usaha-usaha manusia seperti ini adalah sepenggal teori ekonomi yang memberikan keuntungan lebih. Pendapatan menjadi naik signifikan, karena perusahaan-perusahaan itu tidak perlu membayar orang dan peralatan untuk membuang limbah-limbah mereka. Mereka tidak perduli dengan beningnya air Citarum, karena dengan keuntungannya mereka mampu membeli air minum dalam kemasan. Air jernih didapatkan dengan menghabiskan air tanah.

Sungai Citarum yang sampai kini masih menjadi harapan dan penghidupan  bagi manusia-manusia pinggiran zaman, juga tidak pernah disadari keberadaannya. Mandi, cuci dan kakus adalah nama alias baru bagi sungai Citarum. Sedimantasi lumpur dan sampah manusia semakin memperparah keprihatinan terhadap Citarum. Nasib sungai Citarum, dari tahun ke tahun menjadi semakin tidak jelas

Pendekatan normatif

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline