Pemerintah akan segera menghapus subsidi BBM, paling cepat akan dilaksanakan pada bulan Januari 2011. Sebagai percontohan akan dilakukan dulu di JABODETABEK, sedangkan untuk daerah lainnya akan menyusul pada bulan Juli 2011, target jangka panjangnya, pada tahun 2013 semua wilayah di Indonesia akan "menikmati" ketidaksubsidian BBM.
Anggito Abimanyu dari UGM, menyatakan bahwa subsidi BBM tidak mempengaruhi inflasi karena pemilik mobil hanyalah kalangan menengah saja. Dengan kata lain, penghapusan beban subsidi tidak memberikan efek apa-apa, kalaupun ada tidak terlalu signifikan. Sementara rakyat yang tidak menengah tetap saja pada posisi yang sulit secara finansial.
Pertanyaan dari "kegiatan" per-BBM-an ini adalah, sebenarnya berapa biaya produksi BBM itu? Berapakah perbandingan antara modal yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapatkan? Lalu kalau ada keuntungannya, dikemanakan? Kalau kita membaca laporan-laporan pertanggungjawaban finansial dari Pertamina, disitu dilaporkan nilai trilyunan rupiah yang dihasilkan oleh Pertamina sebagai nominal keuntungan perusahaan. Pertanyaan selanjutnya dikemanakan nilai keuntungan perusahaan minyak negara ini? (pertanyaan ini hanya menanyakan pada satu perusahaan saja, lalu bagaimana dengan perusahaan dengan label milik negara yang lain?).
Pertanyaan selanjutnya, seberapa besarkah rakyat Indonesia menikmati nilai laba dari perusahaan-perusahaan negara seperti Pertamina itu? Dalam laporan pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR tidak dengan jelas memberikan perinciannya. Hanya secara global saja laporan itu diberikan, bagaimana dengan hak publik untuk tahu laporan keuangan yang lebih terperinci lagi? Sebenarnya berapakah keuntungan negara ini dari semua perusahaan milik negara yang dibentuknya. Belum lagi jika kita mempertanyakan BUMN yang bergerak dibidang pertambangan.
Sebenarnya apa dan untuk apa subsidi itu? sebenarnya untuk seluruh rakyat Indonesia, meskipun didalamnya juga ada sekelompok masyarakat yang kaya, namun lebih banyak diwarnai oleh kelompok masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah dan miskin. Jadi apakah karena kekayaan segelintir orang yang mampu membeli BBM dengan harga normal tanpa subsidi, kemudian memaksa seluruh rakyat yang miskin itu membeli BBM dengan harga yang setara dengan mereka yang mampu membeli BBM tanpa subsidi? Dengan begitu apakah adil jika kita mencabut subsidi? Padahal dalam beberapa hal, masyarakat yang mempunyai kemampuan finansial, dalam beberapa hal memiliki hak keistimewaan dari pemerintah. Bukankah seharusnya pemerintah membuat aturan dan peraturan-peraturan yang membuat distribusi kekayaan negara itu menjadi adil dan merata? Tampaknya perlu disusun lagi konsepsi baru tentang bentuk pemerintahan yang demokratis itu, apakah sudah benar-benar demokratis baik dari segi visi maupun aplikasinya, bukankah kita seharusnya bisa membedakan dengan bentuk nagara yang liberalis atau negara kapitalis. Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah perusahaan dan jangan dijadikan perusahaan, karena tidak sama sistem manajemennya. Negara tidak hanya berdasarkan atas basis keuntungan semata saja. Namun lebih dari itu, negara tidak hanya persoalan uang tetapi lebih pada persoalan rakyatnya, persoalan manusia-manusia yang menjadi rakyat itu. Dasar-dasar NKRI dibangun atas dasar kesediaan rakyat untuk mempersatukan dirinya, bukan berdasarkan atas partai-partai politik yang datang kemudian. Partai seharusnya adalah mekanisme untuk pengumpulan suara rakyat bukan sebagai basis utama atau figurisasi rakyat secara keseluruhan. Indonesia adalah "Merah Putih", Indonesia dibangun dari keberanian rakyatnya untuk merdeka dan kejujuran rakyatnya untuk menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabatnya.
Memang tidak ada negara ideal di seluruh dunia ini, namun bukankah ada kata "paling tidak mendekati" yang ideal tersebut. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang jelas tidak jelas, Indonesia yang tidak total transpran karena adanya kepentingan elit-elit politik tertentu, saya katakan disini elit politik karena menurut saya, sampai saat ini belum ada yang mendekati atau menokohkan dirinya sebagai seorang negarawan. Kita memang punya banyak negarawan, namun semuanya telah berpulang. Dan sebagai bangsa yang besar, namun sampai saat ini kita belum pernah menghargai hasil karya pemikiran-pemikiran besar mereka sebagai negarawan. Kita ambil contoh saja Bung Hatta, Koperasi adalah hasil dari pemikirannya yang sangat "adi luhung" dimana visi dari koperasi Bung Hatta adalah meningkatkan harkat dan martabat rakyat. Koperasi memberikan janji keadilan dan pemerataan hidup, sehingga rakyat dapat sejahtera dan berlaku bagi seluruh rakyat bukan hanya bagi orang-orang tertentu saja. Dengan Koperasi Bung Hatta berharap keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun apa yang terjadi sekarang, bagi kita dan para elit-elit politik negara ini, koperasi tidaklah lebih dari sebuah proses simpan pinjam uang. Koperasi adalah kumpulan modal yang hanya diambil keuntungan finansialnya, bagi yang kaya, koperasi adalah tempat untuk memperbesar modal usaha, yang ujung-ujungnya memperkaya diri sendiri, sedangkan bagi yang miskin, koperasi adalah tempat untuk mengadu jika mau berhutang untuk kebutuhan hidup seperti bayar uang sekolah, buat beli seragam, untuk kontrak rumah, untuk membayar listrik, air PDAM atau beli beras. Dengan sistem neokoperasi sekarang dimana letak kemakmuran untuk semua?
Bagi sebagian orang, sistem kapitalisme sekarang ini memberikan harapan akan adanya peningkatan taraf hidup, kesejahteraan dan martabat, pendek kata mampu memberikan kemakmuran. Bagi teori-teori humaniora, mungkin saja itu terjadi asal tidak ada manusia yang serakah dan berkeinginan untuk memperkaya diri sendiri secara egois. Persoalannya, mekanisme biologis manusia selalu penuh dengan ke-nafsu-an tersebut, akan tetapi bukankah manusia sudah menciptakan mekanisme untuk mengatur nafsu-nafsu tersebut agar tidak menguasai dirinya. Salah satu mekanisme kontrol nafsu adalah adanya nilai-nilai moral dan etika, dimana semuanya berasumsikan dasar-dasar humanisme dan normatifisme pergaulan sosial. Dalam hal ini, etika dan norma mengontrol agar manusia yang lain tidak mengganggu dan menekan manusia yang lain, yang mana harapan paling tinggi, manusia lain tidak menyakiti manusia lain dengan alasan yang merusak tatanan kehidupan sosial. Namun teori tersebut diatas, sayangnya, hanya dipandang sebagai teori saja, bukan dilihat sebagai sebuah konsep yang dialogis. Nah, pandangan dan pendapat seperti diatas yang sekarang ini dianut oleh para elitis negara ini, pandangan yang hanya tertuju pada tujuan pribadi saja. Kalaupun pandangan tersebut diperbesar nilai positifnya hanya diletakkan pada lajur kepentingan kelompok dan keluarga besar dari elit tersebut. Lalu letak rakyat ada dimana? Secara pribadi saya berasumsi, letak rakyat hanya sebagai konstituen Pemilu saja, kalaupun lebih dari itu, rakyat dipandang sebagai obyek penderita yang diperlukan pada perpektif sebagai korban sebuah bencana atau ketidakadilan. Rakyat diperlukan keberadaannya ketika para elitis negar ini ingin menjadi pahlawan yang kesiangan, rakyat dibutuhkan hanya ketika para elitis negara ini membutuhkan ruang untuk membangun citranya.
Dapatlah sekarang kita bayangkan mengapa subsidi itu harus dicabut, bukannya untuk membantu rakyat dalam membuat dan menciptakan kemakmuran, tapi lebih kepada bagaimana membuat laporan keuangan yang sifatnya progresif saja. Laporan keuangan hanya diperuntukkan bagi anggota DPR yang legislatif saja, yang juga kroni dalam partainya, tanpa perlu memandang rakyat yang memilih, harus juga diingat, bahwa DPR adalah kepanjangan tangan rakyat, bukannya konsorsium partai-partai politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H