Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Itu Tidak Gratis

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, Aku terbangun dengan menatap buku – buku SMA ku yang tertata rapih. Buku – buku itu seolah mengisyaratkan bahwa Aku harus kembali tapi Aku belum sanggup untuk kembali. Dan terciptalah kata - kata seperti ini, Buku, tatkalah Aku bercumbu denganmu Banyak ilmu kuraih Tapi banyak kata – kata yang tak kumengerti Aku ingin kembali bercumbu denganmu Aku ingin kata – kata yang belum kumengerti itu dapat kumengerti Buku, engkau seperti menertawakan Aku Kau Nampak berbincang – bincang bersama lembaran kalimat itu Dan Aku malu untuk menatapmu Buku Biiarkan Aku menyimpanmu untuk sementara waktu, Aku yakin buku Aku yakin bahwa Aku akan kembali untuk menemuimu Dan tiba tiba Aku ingat cerita teman yang membuat hatiku teriris. Tidak ada kata lain selain memilukan. Bangsa ini memang miskin nurani, tidak ada keadilan social yang terdapat pada sila ke lima Pancasila. Keadilan selalu menjadi perdebatan panjang tapi tidak pernah menemui titik temu. Keadilan hanya cerita masa lalu, cerita masa kini bukan keadilan tapi cerita kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Itulah cerita di era demokrasi ini. Bangsa ini selalu berusaha untuk untung tapi tidak melihat dampaknya seperti apa. Salah satu contoh dampak buruk keuntungan bangsa ini adalah kasus hukum Pancung Alm. Ruyati. Kenapa dianggap untung? Ya, bangsa ini mementingkan keuntungan dari orang – orang yang tertindas. Pahlawan devisa Negara. Ah.. apalah arti julukan itu kalau tidak ada perlindungan terhadap warga negaranya yang mencari makan di negeri orang. Bahkan, yang lebih memilukan lagi, bangsa ini tak seberani bangsa Australia. Australia berani melindungi “hewan”, dan sementara Indonesia berani merelakan nyawa pahlawan devisa dengan mengatakan “kami turut berduka dan prihatin”. Bicara soal curhatan teman, gw mendapatkan sms begini; Ben, ijazah gw ditahan Cuma gara – gara kurang bayaran. Masa gw gk punya ijazah gara – gara belum bayaran? (melalui pesan singkat) Malam itu, aku bertemu temanku yang keduanya belum dapat ijazah dengan alasan belum bayara jugan, dan kutanyakan pada mereka; “Lho sudah ngambil ijazah?” “Kata wali kelas gw, kalau belum melunasi bayaran belum bisa ambil ijazah” “Jadi?” “Jadi gimana, gw belum bayaran jadi gk bisa lah”. Bingungkan mau jawab apa? Okelah, gw tidak bisa bantu apa – apa, dan kebetukan Pak Marzuki Alie, lagi berkicau di twitter, kuberanikan diri untuk bertanya; Pak, Apakah sekolah Negeri berhak menahan ijazah dengan alasan belum membayar IRB dan IPDB? [caption id="attachment_118733" align="aligncenter" width="526" caption="twitter me"][/caption] Ketika pak Marzuki Alie membalas dengan kata ini; Seharusnya berpikir kemanusiaan, apapun aturannya, apalagi sekolah negeri. Saya membayangkan jika pemimpin pemimpin negeri ini berkata demikian, dan perkataan itu menjadi implementasi yang rill. Saya rasa tidak ada yang tidur dijalanan dan tidak ada yang mengangkat tangan untuk meraih uang receh jatuh ketangan. Saya berharap, Bapak Ibu Guru saya tercinta bisa berpikir kemanusiaan dengan rela melepaskan ijazah teman – teman saya yang tersandera karena belum melunasi bayaran. Adalagi yang curhat begini ni; Jadi kang. Bokap gw baru transfer 9 juta. Sehrarusnya sih sebelum tgl 23 kudu lunas 12 juta kang. Total semua tahun pertama 18 juta lebih. Memang itu sesuai gaji ayah. Tapi gaji bokap gw ja cma 5 jta. Dan rumah gw aja masih ngontrak. Abang gw kagak kerja kang. (melalui facebook). Duh, dari sekian curhatan temen yang paling menyentuh adalah curhatan temanku yang satu ini. Ternyata, Jalur Undangan PTN itu mahal juga. Saya berpikir, bagaimana jika ia gagal kuliah karena tidak mampu memenuhi pembayaran tersebut? Apakah pendidikan kejam seperti ini? Tapi beruntunglah temanku ini, Ia memiliki orangtua yang selalu berusaha untuk anaknya. Dan sebagai teman, saya selalu mendoakan agar Ia bisa kuliah di PTN tersebut. Coba tanya ke Pak Marzuki lagi ah; Saya tahu jika Pak Marzuki seorang aktifis pendidikan. Tidak usah ditanya apakah beliau memiliki sekolah atau tidak. Sebagai orang yang satu propinsi, saya tahu beliau memiliki sekolah dan memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Saya Cuma ingin wakil rakyat tahu bahwa mereka seharusnya tidak selalu bicara politik tapi sebagai wakil rakyat, mereka harus memperhatikan wong cilik yang memiliki mimpi dan yang membutuhkan perhatian. Negeri tanpa politik tidak akan berjalan tapi kalau politik terus yang dibicarakan maka, tidak ada kesejahteraan, dan yang ada hanya perdebatan panjang tentang keadilan itu milik siapa? Keadilan tidak perlu diperdebatkan, yang mesti dilakukan adalah tindakan nyata wakil rakyat. Jakarta,  Juni 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline