Lihat ke Halaman Asli

Benny Eko Supriyanto

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Watampone

Adat Bertutur: Mengembalikan Kearifan Lokal dalam Kominikasi Antargenerasi di Era Digital

Diperbarui: 9 Agustus 2024   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Adat Bertutur (Sumber: Freepik.com)

Indonesia, dengan kekayaan budayanya yang beragam, memiliki tradisi yang kaya akan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia adalah "adat bertutur"---sebuah praktik komunikasi yang mengedepankan kesantunan, tata krama, dan kebijaksanaan dalam setiap percakapan. Adat bertutur bukan sekadar cara menyampaikan pesan, tetapi juga cerminan dari hubungan sosial yang harmonis dan penghargaan terhadap orang lain.

Namun, di era digital yang serba cepat ini, adat bertutur mulai tergerus oleh gaya komunikasi yang lebih instan, singkat, dan sering kali kurang memperhatikan etika. 

Pesan yang disampaikan melalui media sosial atau aplikasi pesan singkat cenderung ringkas dan langsung ke inti, tanpa memperhatikan nuansa kesopanan yang dulu menjadi ciri khas komunikasi antargenerasi. 

Akibatnya, kita menyaksikan bagaimana hilangnya adat bertutur yang santun dapat mempengaruhi kualitas hubungan antargenerasi, menciptakan jarak emosional, dan bahkan memicu miskomunikasi.

Hilangnya Adat Bertutur di Era Digital

Perkembangan teknologi komunikasi telah membawa perubahan besar dalam cara kita berinteraksi. Kemudahan dalam mengirim pesan teks atau berkomunikasi melalui media sosial membuat kita lebih sering memilih kata-kata yang efisien, namun terkadang kurang memperhatikan aspek kesopanan. Akibatnya, nilai-nilai adat bertutur yang mengedepankan penghormatan, kesantunan, dan kebijaksanaan mulai terlupakan.

Sebagai contoh, dalam tradisi bertutur, penggunaan bahasa halus dan pemilihan kata yang tepat sangat diperhatikan, terutama ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dalam konteks formal. Namun, di era digital, penggunaan bahasa cenderung lebih informal dan tidak jarang terkesan kasar. Ini bukan hanya karena perubahan gaya bahasa, tetapi juga karena hilangnya kesadaran akan pentingnya tata krama dalam komunikasi.

Miskomunikasi antargenerasi sering kali terjadi karena perbedaan cara pandang terhadap komunikasi. Generasi yang lebih tua, yang tumbuh dengan nilai-nilai adat bertutur, mungkin merasa tersinggung atau tidak dihargai ketika menerima pesan yang terlalu singkat atau kurang sopan dari generasi muda. Sementara itu, generasi muda yang terbiasa dengan kecepatan dan efisiensi dalam komunikasi mungkin tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dapat dianggap kurang sopan oleh generasi yang lebih tua.

Pentingnya Mengembalikan Adat Bertutur

Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat ini, adat bertutur masih sangat relevan dan diperlukan. Adat bertutur bukan hanya soal pilihan kata, tetapi juga soal bagaimana kita membangun hubungan yang harmonis dan saling menghormati dengan orang lain. Mengembalikan nilai-nilai adat bertutur dalam komunikasi antargenerasi dapat membantu mengurangi kesalahpahaman, meningkatkan rasa saling menghargai, dan memperkuat ikatan sosial.

Menghidupkan kembali adat bertutur bisa dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti memilih kata-kata yang lebih santun dalam percakapan sehari-hari, terutama ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dalam konteks formal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline