[caption caption="Mumpung di kebun teh Malabar, jangan lewatkan sesi foto-foto. (Foto: Benny Rhamdani)"][/caption]Sumpah, kedua orang di foto itu bukan saya. Siapa mereka? Sebenarnya saya sudah menuliskan panjang lebar siapa mereka. Tapi tulisan yang sudah rampung mendadak raib ketika saya memasukkan foto di draft. Ketimbang ngomel-ngomel ke admin atau banting kibor, saya coba bercerita lagi deh dari awal.
Saya bangun menjelang azan subuh, pada hari Minggu, 21 Februari 2016. Saya perlu mengumpukan nyawa dulu beberapa detik sebelum akhirnya sadar bahwa saya berada di kamar 1009 Best Western Premier La Grande Bandung. Room mate saya, Hilman Nugraha, sudah bangun sebelum saya.
Karena rencananya akan berangkat ke Perkebungan Malabar, Pengalengan, Kabupaten Bandung, dan harus siap pukul 06.00, saya sarapan di Parc de Ville pukul 05.30. Masih sedikit yang hadir. Alamat deh, berangkatnya bakal ngaret. Dan ternyata memang kami baru berangkat meninggalkan hotel pukul 07.15.
Pabrik Teh Tua Malabar
[caption caption="Pabrik teh Malabar yang tampak seadanya. (Foto: Benny Rhamdani)"]
[/caption]Lebih dari dua jam perjalanan yang ditempuh menuju lokasi. Hari Minggu memang jalur Bandung Selatan relatif lebih padat lantaran banyak wisatawan, baik dengan kendaraan pribadi, angkutan umum, motor roda dua, bahkan sepeda. Betapa leganya ketika akhirnya saya tiba di Pabrik Teh Malabar --dulunya bernama Pabrik Tanara-- yang didirikan tahun 1905 dan dikenal memproduksi teh dataran tinggi berkualitas baik . Pabrik yang kini berdiri merupakan pengganti dari pabrik pertama yang hancur pada Perang Dunia II.
Oh iya, ngomongin nama 'malabar' saya juga bingung asal-usulnya dari mana. Dalam bahasa Sunda tidak ada. Tapi kala browsing saya menemukan dua arti. Orang Prancis mengartikannya pria berotot. Jelas susah sekali nyambungnya. Tapi di di India terdapat sebuah daerah perbukitan bernama Malabar, di sekitar Kerala. Mungkin nama ini diadopsi dari sana. Ah, lupakan!
Kompasianer diajak masuk ke pabrik, dan mendapatkan ruangan luas dengan foto-foto tempo dulu di dinding. Saya mendadak melankolis melihat semua foto itu. Betapa keindahan tanah priangan di ketinggian 1550 dpl ini sudah tampak sejak dulu kala.
Kami kemudian diajak naik menuju tangga. Yup. Kompasianer memang tidak diperkenankan ke ruang produksi langsung. Jadi harus menelusuri rel di ketinggian, melihat ruang produksi di bawah serta para pekerjanya. Disertai gemuruh mesin pabrik, saya mendengarkan penjelasan tentang produksi teh sebisanya.
Awal produksi dimulai dari daun teh yang harus melewati proses pelayuan sekitar 18 jam di tempat berbentuk persegi panjang bernama withered trough. Setiap empat jam daun teh dibalik untuk menghilangkan kadar air sampai dengan 48%. Daun-daun teh layu kemudian dimasukkan ke dalam gentong dan diangkut menggunakan monorel ke ke mesin penggilingan. Setelah digiling, daun teh dibawa ke tempat untuk mengayak.
[caption caption="Foto-foto tempo dulu yangdi pajang di lobi pabrik. (reporo: Benny Rhamdani)"]
[/caption]