Dunia pertambangan nasional tak pernah henti dari polemic. Setelah peraturan pemerintah tentang minerba yang menimpa Newmont sampai terjadi kahar tahun 2014, giliran Industri tambang bauksit yang ramai sekarang. Dan keduanya sama-sama mengaitkan dengan smelter (pemurnian)
Dari pemberitaan Seminar Nasional, 25 Mei 2015 di Hotel Menara Peninsula, S Parman, Slipi Jakarta yang menyoroti kebijakan pemerintah terkait pelarangan ekspor bauksit dan hilirisasi industri mineral akhirnya saya tahu tentang kisruh tersebut.
Kondisi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah terkait ekspor, dengan menerbitkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tanggal 12 Januari 2014 tentang pelarangan ekspor mineral mentah bauksit. Dalam rangka memanfaatkan dan mengelola sumberdaya mineral, Pemerintah RI telah menerbitkan UU No. 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Guna melaksanakan UU tersebut, pemerintah menerbitkan PP No. 23 Tahun 2010, dan baru menindaklanjuti dengan menerbitkan Permen ESDM No. 7
Tahun 2012. Setelah diterbitkannya Permen ESDM No 7 Tahun 2012 inilah baru adanya pengaturan yang tegas batas waktu untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan kadar minimum mineral bagi IUP.
Waktu yang diberikan oleh pemerintah hanya efektif sekitar tahun untuk merencanakan jenis industri, mendapatkan investor dan membangun industri smelter.
Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) adalah orang yang paling vocal melobi peraturan pemerintah tersebut. Erry pun buka-bukaan soal kebijakan larangan ekspor yang dirancang pemerintahan sebelumnya terkesan diskriminatif dan tidak adil.
Menurut Erry, ada 182 perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia. Sebanyak 77 perusahaan di antaranya sudah dalam tahap izin usaha produksi pengolahan mineral.
Perusahaan yang tergabung dalam APB3I sebanyak 51 perusahaan bauksit, dengan total tenaga kerja sekitar 40 ribu orang. Operasional seluruh perusahaan tersebut terbagi ke dalam tiga wilayah, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah. Dan Pulau Bintan-Kepulauan Riau,
Ibarat efek bola salju, Erry mengatakan dampak negatifnya sebenarnya juga dirasakan oleh pemerintah. Potensi kerugian negara dari kebijakan tersebut ditaksir Erry mencapai sekitar Rp 17,6 triliun dalam bentuk devisa yang gagal masuk. Selain itu, penerimaan pajak negara juga hilang sekitar Rp 4,09 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berkisar Rp 595 miliar.
Berdasarkan data APB3I, cadangan bauksit Indonesia saat ini sekitar 3,2 miliar ton, di samping sumber daya bauksit yang diperkirakan mencapai 7,55 miliar ton. "Itu kalau dipakai untuk produksi alumina atau ekspor sekalipun tak akan habis dalam 200 tahun," kata Erry.
Lantas mengapa jika merugikan negara, peraturan itu masih terus digulirkan?