[caption id="attachment_412936" align="aligncenter" width="461" caption="Tarian Dewa Siwa dari India meriahkan Festival of Nations di Bandung. (Foto: Benny)"][/caption]
Empat penari pria di atas panggung itu tiba-tiba meliuk seperti ular kobra. Lentur tapi tegas. Ratusan penonton di depannya langsung bertepuk tangan menyaksikan gerak menarik Tarian Dewa Siwa tersebut. Aksi panggung dari India ini merupakan bagian dari acara Festival of Nations (FoN) yang digelar di Jalan Ir. H Djuanda, Dago, Bandung, Minggu 26 April 2015.
Sebelum Shiva Dance, delegasi India juga menampilkan atraksi yang tak kalah menariknya, yakni tarian Radha dan Krishna. Sepasang penari India bergerak dinamis di atas pentas mengenakan topeng dan kostum Krishna dan Radha. Pembawa acara memang tak menyebutkan detil nama-nama tarian, untung saja saya dulu aktif berlatih tari klasik Kathak, sehingga tahu nama-nama tarian tersebut.
Berbeda dengan tarian Dewa Siwa yang menggambarkan kesaktian Dewa umat Hindu itu, tarian Radha dan Krishna lebih lembut karena bercerita betapa romantisnya pasangan Dewa Krishna dan Radha. Ketika dua tarian tersebut usai, penonton seperti belum puas menyaksikan pentas dari India siang itu.
Tidak hanya India, negara Filipina juga menampilkan tarian yang tak kalah menarik. Sepintas seperti tarian suku Dayak Kalimantan. Apalagi mereka mengenakan corak pakaian layaknya suku Dayak, juga membawa senjata tradisional panah dan pedang yang mirip pula.
Selain dari luar negeri, pentas FoN juga menggelar atraksi dari Indonesia. Salah satu yang saya kagumi adalah Tari Tempurung dari Pontianak. Menggelar tariannya di jalan, para penari tetap bergerak lincah sesuai iringan musik tradisional yang dimainkan dari pentas utama.
[caption id="attachment_412937" align="aligncenter" width="461" caption="Gerak dinamis Tari Tempurung dari pontianak. (foto: Benny)"]
[/caption]
Para penonton pun bersuka cita karena bisa melihat lebih dekat. Apalagi ketika ketujuh penari itu meletakkan tempurung dan bermain dengan selendang mereka. Penonton langsung berdecak kagum dan bertepuk tangan.
Kulturasun
[caption id="attachment_412939" align="aligncenter" width="461" caption="Selfie jalan terus (Foto: Benny)"] [/caption]
Puncak acara Konferensi Asia Afrika memang sudah berlalu, namun Bandung belum berhenti memeriahkannya. Salah satunya adalah FoN yang diberi tajuk Kultarasun. Menurut host yang membawakan acara di panggung utama, Kulturasun diambil dari kata sapaan sampurasun yang biasa dipakai urang Sunda. Tagline acara ini sendiri adalah ‘when the world says sampurasun’.
[caption id="attachment_412938" align="aligncenter" width="461" caption="Pengunjung antusias bertanya tentang wisata Kenya. (Foto: Benny)"]
[/caption]
FoN merupakan acara tahunan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (HMPSIHI). Setiap tahunnya, HMPSIHI mengajak masyarakat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) untuk menikmati kebudayaan dari berbagai negara dalam satu hari.
Khusus tahun ini FON bekerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, termasuk ke dalam rangkaian dari Perayaan Hari Jadi ke-60 Konferensi Asia-Afrika. Makanya menjadi salah satu agenda juga di Indonesia Travel.
[caption id="attachment_412941" align="aligncenter" width="480" caption="Delegasi Solo dengan kostum karnaval yang extravaganza. (foto: Benny)"]
[/caption]
Setidaknya di area yang biasa dipakai car free day ini pengunjung yang datang bisa melihat 18 booth budaya negara, ditambah sekitar 50 booth kuliner yang populer di Bandung. Pengunjung juga bisa melihat atraksi di panggung utama dan panggung kecil. Beberapa atraksi juga digelar di sepanjang jalan.
Sejak saya datang siang hari hingga pulang sore, penonton tak henti datang dan pergi ke acara ini. Dominasi penonton tentu saja kaum muda, baik warga Kota Bandung maupun dari luar Kota Bandung. Namun jumlah pengunjung anak dan lanjut usia pun tak kalah menariknya.
Anak saya, Akhtar, mengaku senang ke FoN, terutama ketika masuk ke booth partisipan yang menyediakan cendera mata gratis. Misalnya, booth Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang menyediakan gantungan kunci, pin, dan buku gratis.
[caption id="attachment_412942" align="aligncenter" width="480" caption="Semua sajian seni dan budaya diberikan gratis, termasuk di panggung kedua ini. (Foto: Benny)"]
[/caption]
Saya sendiri menganggap acara ini sangat bermanfaat untuk memperkenalkan beraneka seni budaya mancanegara kepada warga Bandung khususnya. Apalagi seiring dengan gaung persaudaraan yang menjadi napas Konferensi Asia Afrika.
Pemilihan lokasi juga sangat tepat karena berada di posisi yang strategis. Belum lagi pepohonan di kawasan Dago yang melindungi pengunjung dari sengatan sinar matahari ketika datang pada siang hari. Tentunya, partisipan dari luar negeri juga bisa ikut merasakan hijaunya Kota Bandung.
Benar-benar puas rasanya ketika meninggalkan area ini. Sayang, saya tidak bisa mengikuti FoN hingga malam hari lantaran agenda lain yang harus saya kunjungi. Semoga tahun depan FoN kembali hadir dengan keanekaragaman budaya yang lebih banyak lagi.
[caption id="attachment_412940" align="aligncenter" width="526" caption="FoN ajang wisata budaya yang paling cocok untuk keluarga. (foto Benny)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H