Lihat ke Halaman Asli

Tembelang Politik Kaum Pandir - Terwangan Dialog si Hussein dan Ahmad

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cangkulnya tak lagi terayun. Sambil menoleh, disekanya untal peluh yang luruh dalam pelupuk. Beberapa kali dia berkejip. Membasuh tajamnya terik yang tak henti menusuk mata. Dicarinya sumber suara sesaat lalu mendengungkan namanya.

Hanya sosok yang dilihatnya di pematang itu. Syahdan, lekas dia mengencangkan caping, bergegas menarik cangkul kepematang sana.

'Kamu akan cepat kaya kalau kerja terus' celoteh sosok itu dengan sedikit kekeh.

Belum selesai langkahnya menepi, pria bercangkul dengan kulit legam itu menyembur 'Ah kau,... sampai tulangku jadi tanahpun, tak mungkin aku bisa kaya...'. Nadanya pun sontak meninggi 'Selama kaum pandir itu masih ajeg membual di sana, kita hanya dapat jatah batu dan lumpur...'.

'Aih... siang bolong begini masih saja kau hambur petuah.. hehehe' celoteh sosok itu memotong. Dia menambahkan 'Sudah... cepat kesini.. baru saja kretek dari desa sebelah tiba. Harum baunya. Kubakar selinting untukmu..' Sosok itu mengakhir gumamnya, lalu dengan gesit menyulut kretek yang terselip di ujung bibirnya.

'Nah ambil....' sembari menyodorkan sebatang kretek pada kawan tuanya yang sesaat ngelesot di pematang, samping kirinya. Diraih nya kretek itu.Kemudain mereka telah berjejer, berpayung terik.

'Hussein,..' gumamnya sambil lalu melumat kretek. 'Tidakah kau lihat berita kemarin sore? Aku heran, bagaimana bisa ada manusia tebal muka seperti mereka. Dengan otak kosong, mengumbar janji naikan perekonomian rakyat. Telah jelas kuendus, bualan mereka jauh dari material atau ide, tak lebih, dialog mereka yang berlaku hanya tumit dan dengkul belaka….

Ahmad… Terik hari ini sungguh nikmat, ditambah, harum kretek yang kita hisap…’ kembali Hussein memotong. ‘Kita nikmati saja… tak perlu mengotori otak dengan sampah-sampah itu’. Hussein menambahkan.

Suasana hening sesaat. Di ujung petak kedua sawah itu, terlihat anak kerbau berjingkat, menggoda induknya yang sibuk memilah rumput segar.

Hussein memecah keheningan itu ‘Dunia sudah berubah Mad. Jaman kita muda dulu, kancah politik itu adalah panggung suci. Memang kotor dan bahkan penuh bercak, namun suci dalam tujuan – rakyat adalah penguasanya dan bukan dikuasainya. Luka kita belum kering betul. Aku masih mencium anyir itu. Ingatkah kau Mad, kaum lancung juga berjejal waktu itu. Daya dan raga kita curahkan melawan mereka. Janganlah kau lupa, mereka lebih licik dari setan sekalipun. Mereka memakan tetangga. Mereka menjual sanak dan sepupunya. Apalagi sebatas teman, jadilah santapan. Kaum tembelang itu telah berpinak Mad… ya.. berpinak. Menjadi seribu.…..

Aku tak mungkin amnesia!’ sahut Ahmad. ‘Kau lihat polah mereka belakangan kan? Mereka menginjak-injak martabat demokrasi, Hussein… namun mereka malah sembunyi dalam ketiak demokrasi itu sendiri. Lihat saja, demokrasi hanya dijadikan tumpangan untuk mengisi perut mereka yang terus lapar. Perut-perut karet itu terus diisi dengan dosa. Sementara, kau lihat Hussein, tulang rakyat tinggal berbalut kulit. Mulut-mulut mereka hanya menebar fitnah. Bukanya mengajak rakyat untuk mandiri dan berdaulat, mereka malah berdiri di atas gedung-gedung, menebar terror untuk menjinakan rakyat itu sendiri. Aku paham, mereka itu orang-orang yang plin-plan dan picik. Bahkan, otak mereka tak lebih dari sebutir bijih kemiri. Kau juga paham kan Hussein, situasi politik kita ini sekarang sangat terbelakang, bahkan jauh terpuruk tak ubahnya nenek buyut kita waktu dijajah. Partai politik yang ada, tak lebih dari sebuah pabrik gula jaman dahulu kala. Yang berkuasa jelas yang punya modalnya. Sedangkan orang-orang disekitarnya, tak lain hanyalah centeng dan cukong-cukong nya saja. Sedangkan partisanya hanyalah pekerja. Jika pemilu datang, rakyat dijilat. Merunduk dan meratap, bersandiwara meraup angka. Rakyat ditipu dengan seribu gombal dan lembaran-lembaran uang kontan. Rakyat dijebak. Setelah rakyat menyerahkan kedulatan mereka, dari situlah drama penghisapan dimulai......

Senyap. Empat mata itu menerobos jauh ke cakrawala. Bara kretek mereka telah padam dan abunya membatang. Semilir angin mengantar aroma jerami terbakar. Tak sedikitpun geming dari kedua sosok itu. Mematung.

Aku juga muak Mad…’ kalimat pendek Hussein itu merubah suasana. ‘Puluhan tahun kucoba mengundang rakyat berlogika atas dasar materi untuk sebuah lompatan. Membawa mereka terlepas dari kaum pandir penghisap itu. Mendongkel feudal yang mengakar dan menendang pantat para pemodal kedalam samudera. Namun, dasar setan dasamuka, bisa saja mereka memutar fakta. Tapi memang aku paham, si picik pandir itu tak mungkin mampu melakukan sendiri. Ya, sangat mustahil. Mereka itu hanya kakitangan. Coba lihat Ahmad, peranakan merekapun tak ada kemajuan. Panggung politik mereka itu tak lain dari panggung para badut. Panggung hiburan – lawakan untuk penikmat makan malam. Mereka tak mampu memahami makna demokrasi. Jika saja si tua berjenggot dan kawan baiknya itu melihat, aku tak bisa membayangkan, bagaimana dia akan tertawa… hehehe. Coba kau perhatikan Ahmad, kaum pandir sekarang ini takut bukan kepalang ditinggal rakyat. Lihat saja, foto-foto mereka dicetak besar-besar. Ya tentu saja, meski begitu tak satu kawanpun yang mengenal. Mereka itu memang kaum dungu yang tak pernah susah. Pastinya kamu juga tau kan Ahmad, calon dewan itu kan hanya pesanan. Coba perhatikan, kaum pandir itu tak ubahnya sapi perahan partai kan? Mereka harus bayar untuk jadi kader. Tidak hanya itu, kocek mereka terus mengalir ketika kampanye – cetak foto kek, baliho kah, poster, kartu nama, pamphlet dan juga biaya serangan fajar. Ah, malas aku menghitungnya. Yang pasti, modal itu akan diambil dengan berbagai cara ketika mereka terpilih jadi wakil rakyat. Kalau terpilih sih, kalau nggak, diambilnya di rumah sakit jiwa hehe. Coba bandingkan dengan masa mu dulu Mad. Kegiatanmu yang membiayai rakyat. Waktu itu, meski bakul kosong, bahu-membahu mereka datang menolong. Kamu pasti ingat saat kejadian itu, saat semua orang datang ke tempat pemilihan suara, melakukan penghitungan bersama, menang kalah bersuka ria. Tak hanya sampai di situ, bagi para pemenangnya, mereka bertaruh nyawa melaksanakan tugasnya. Bagi yang kalah, mencari strategi, mendekati rakyat untuk pemilihan berikutnya…. Meski waktu itu aku hanya melihat dari luarnya…

Senyum merekah di bibir Hussein. Dua helai nafas panjang berturut-turut dia lakukan. Sebelum akhirnya… ‘Bedug telah lewat… Aku harus pulang, cetak koran untuk esok….’ Sambung Hussein sembari bergegas melangkah jauh meninggalkan Ahmad[].




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline