Lihat ke Halaman Asli

Pandangan Orang Batak terhadap Gender dan Seksualitas

Diperbarui: 21 Juni 2017   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Benni Sinaga

Masalah gender dan seksualitas menjadi suatu perbincangan yang panas dalam zaman post modern saat ini, dimana telah banyak manusia yang ingin mengubah peran dan fungsi sebagai manusia. Pemahaman bahwa manusia adalah sama menjadi latarbelakang bahwa laki-laki dan perempuan itu sama.

Memang pada harkat dan martabat bahwa manusia adalah sama laki-laki dan perempuan merupakan manusia. Tetapi jikalau berbicara peran dan fungsi maka laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Laki-laki adalah laki-laki perempuan adalah perempuan.

Dalam budaya batak tercermin bahwa laki-laki lebih dihormati karena pembawa marga seolah-oleh perempuan tidak penting, sehingga terjadi salah taksir di berbagai masyarakat suku lain bahwa suku batak kurang menghargai perempuan, terkhusus zaman dulu orang batak terkenal tidak mau menyekolahkan anak perempuan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

 Karena orangtua dulu beranggapan bahwa perempuan di" jual" akan di bawa suaminya sehingga tidak boleh sekolah tinggi-tingi. Sehingga banyak beranggapan bahwa orang batak tidak menghargai perempuan, perempaun tahunya hanya masak dan bereskan rumah, dan melayani suaminya.

Pandangan ini menjelma menjadi sebuah budaya yang terus-menerus menjadi bahan perbincangan yang menarik, sehingga suku batak menjadi  suku yang ekstrem dalam gender antara laki-laki dan perempuan. Suku batak terkenal dengan laki-laki di junjung, perempuan di sanjung. Maka sampai ada judu lagu Anak Naburju artinya anak yang baik, boru panggoaran  perempuan pembawa gelar panggilan bagi orang tua. Namun kalau orang memahami disitulah bahwa keseimbangan gender telah tercipta

Budaya sering membuat pemahaman keberagaman gender menjadi kerdil, contohnya dulu kalau di suku Batak, Perempuan tidak bisa kepala suku, atau pemimpin dalam sebuah kerajaan ini tercermin karena budaya membuat kita dangkal dalam memahami gender. Latarbelakang bahwa perbuatan demkian ternyata tercermin dari budaya yang primitif yang tidak melihat dari keberagaman gender.

Kekuatan dan kelemahan antara laki-laki dan perempuan merupakan keseimbangan yang sempurna dalam menjalani kehidupan manusia. Dalam pemahaman bahwa manusia adalah sama maka suku batak di zaman Modern   mengubah pemikiran dimana laki-laki dan perempauan sama, hanya memiliki fungsi dan peran yang berbeda.

Menurut saya walaupun laki-laki dan perempuan sama tetapi tetap mengerjakan apa yang hakikatnya sebagai manusia. Perempuan mengerjakan tugasnya sebagai perempuan, laki-laki mengerjakan tugasnya sebagai laki-laki. Bicara tugas bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam keluarga, masyarakat berbangsa.

Budaya Batak

Untuk menjaga keseimbangan dalam keberagaman gender maka dalam budaya batak ada istilah yang disebut dengan " Dalihan Natolu" tiga ketetapan dalam keberagaman gender yaitu Somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboruartinya kita harus hormat kepada saudara laki-laki dari istri, hati-hati dan berjaga-jaga kepada saudara-saudara dan lemah-lembut kepada saudara perempuan. Jadi keseimbangan gender tercipta  sedemikian rupa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline