Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional: “Benalu” Pendidikan

Oleh: Benni Sinaga

Bagaikan benalu merusak pohon, demikianlah juga ujian nasional telah

Mengayak dan mengoyak kualitas pendidikan itu sendiri.

Hampir satu dasawarsa sudah, kementerian pendidikan nasional (kemendiknas) melalui BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) telah menyelenggarakan ujian nasional (UN). Bukannya menghasilkan pemetaan seperti yang diagung-agungkan, pemandangan yang kerap kita saksikan justru gerak langkah pendidikan menuju jurang kehancuran. Alih-alih meningkatkan kualitas, yang ada malah pendidikan yang kebablasan. UN bak benalu bagi pendidikan.

Bagaimana tidak, kebijakan UN seperti sosok penguasa diktator yang berkuasa sewenang-wenang dan perintahnya mesti dipatuhi oleh siapa saja (mulai dari kemendiknas, dinas pendidikan tingkat I dan II sampai sekolah). Tak boleh dibantah. UN hari ini, masih menjadi penentu kelulusan siswa, akibatnya, UN masih menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Bahkan tidak sedikit pula guru, kepala sekolah dan masyarakat yang mengeluhkanUN.

UN tahun ini modelnya memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya (tahun 2003 sampai 2010 mutlak 100 persen sebagai penentu kelulusan siswa). Tapi, tahun ini 40 persen kelulusan ada di tangan sekolah. Sesungguhnya, itu hanya permainan angka saja, penentu kelulusan masih tetap pemerintah pusat. Karena dalam persyaratannya tertulis bahwa peserta UN harus memenuhi skor minimum 5,5. Jika tidak, ia dikatakan gagal. Entah mengapa para petinggi di Kemendiknas kita ini begitu senang, bahkan berbangga hati dengan permainan angka-angka itu, mulai 3,0 tahun 2003 sampai 5,5 tahun 2011. Memang dari segi angka standart kelulusan, maju terus. Tapi, apakah demikian dengan standart isi atau mutunya? Sayangnya tidak, bahkan sebaliknya. Kenyataan dilapangan, kualitas siswa justru semakin bobrok, minat belajar sangat rendah, dan sebagainya. Kondisi ini akan terus terjadi sepanjang UN dijadikan penentu kelulusan siswa.

Ironis memang, potret kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah (baik di sekolahswasta maupun negeri), pihak sekolah beramai-ramai memanipulasi nilai rapor siswa. Nilai-nilai merah didongkrak sedemikian rupa. Yang lebih mencengangkan lagi, bahwa semuanya itu terjadi tidaklah atas persetujuan guru mata pelajaran atau wali kelas. Inikah yang dinamakan pendidikan berkarakter mulia dan meningkatkan kualitas?

Belum lagi jika dilihat dari sudut pandang filosopi pendidikan, bahwa sesungguhnya gurulah yang patut menilai siswa. Secara umum. ada lima tugas guru. Pertama, mempersiapkan bahan ajar (materi, metode serta media pembelajaran). Kedua, menyampaikan materi pembelajaran. Kemudian, mengevaluasi siswa. Selanjutnya, mengadakan remedial (ujian perbaikan). Tugas terakhir, memberi pengayaan (wawasan terkait materi). Bagaimana dengan UN? Sesungguhnya, evaluasi masih mutlak di tangan pemerintah, bukan guru. Harusnya, penilaian siswa dipercayakan sepenuhnya kepada guru. Inilah fakta yang sangat berseberangan dengan hakikat evaluasi pendidikan. Namun, UN tetap dianggap sebagai prestasi dalam bidang pendidikan.

Dampak UN

Sebagai imbas dari kebijakan UN, serta muara dari ketakutan-ketakutan sekolah, maka tidak heran jika kepala sekolah memutar otak dan melakukan segala cara untuk meluluskan siswanya, tak peduli apakah itu cara halal atau haram, apakah itu jalan pantas atau jalan pintas. Yang penting, bagaimana caranya meluluskan sekolah dari UN, kalau boleh 100%, supaya sekolah itu tetap dipandang bagus oleh masyarakat. Tidak sedikit sekolah yang akhirnya membentuk tim sukses melalui sekolah atau pun melobi bimbingan belajar untuk menciptakan kunci jawaban sebelum atau saat ujian berlangsung. Ada juga pihak sekolah, pribadi siswa maupun sekelompok yang meminta bantuan kepada joki (penjual soal/jawaban).

Disamping itu, fenomena yang terjadi di sekolah sesungguhnya masih banyak lagi. Ada sekolah yang akhirnya selama kelas tiga sepanjang dua semester kegiatan belajarnya hanyalah membahas soal-soal saja, itupun hanya mata pelajaran adaptif-normatif, sementara materi produktif hanyalah sebagai “pelengkap penderita”. Ironisnya, tidak menjadi suatu masalah bagi siswa jika cuek dan sepele terhadap guru-guru “kelas dua”. Dan sudah dapat dipastikan jika siswa akhirnya malas belajar. “Ngapain capek-capek belajar, toh nanti diberi kunci jawaban” cetus seorang siswa dengan entengnya. Inikah pendidikan yang kita katakan mencerdaskan itu, Bukankah ini pembodohan terstruktur?

Tidaklah suatu hal baru dan aneh dimata publik ketika melihat seorang siswa mengalami gangguan psikologis, bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena dinyatakan tidak lulus UN. Para orangtua beramai-ramai mendatangi sekolah menuntut pertanggungjawaban karena anaknnya tidak lulus. Siapakah yang bertanggungjawab atas semuanya ini?

Sudah jelas kita melihat bagaimana keberadaan, pelaksanaan, serta dampak yang ditimbulkan akibat UN tersebut. Layakkah UN masih kita agung-agungkan, layaknya kemendiknas mengatakan UN adalah prestasi? Saya pikir tidak.

Solusi

Sudah selayaknya kita sadar dari pembodohan ini. Dan Mari berbenah diri. Inti persoalan UN bukan pada sekolah, guru, siswa, bimbingan belajar. Tetapi, terletak pada kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah. Menurut hemat saya, permasalahan UN akan teratasi jika UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan. Kalaulah mau serahkanlah seutuhnya kepada sekolah. Saya percaya, sekolah punya kapasitas memadai untuk tugas ini. Tapi, pemerintah selagi regulator kebijakan perlu mengontrol perjalanan pendidikan di sekolah secara progres.

Kalaupun, UN dimaksudkan sebagai pemetaan, maka benar-benarlah pemetaan itu dikerjakan, jangan sekedar asal-asalan. Tentunya, hasil pemetaan itu harus bisa dipublish ke masyarakat, sebagai cermin intropeksi diri bagi guru-guru maupun sekolah sekaligus sebagai wahana prospeksi dalam memajukan pendidikan.

Oleh sebab itu, marilah kita mendesak kemendiknassupaya membuka mata hatinya lebar-lebar, betapa dampak UN sangat membahayakan, serta supaya mau merespon jeritan hati orang-orang yang peduli terhadap kebaikan dan perbaikan pendidikan kita. Pemerintah dalam hal ini kemendiknas maupun BNSP harus melakukan evaluasi dan meninjau kembali kebijakan dan sistem pelaksanaan UN itu sendiri. Itu harapan kita semua.

(Penulis adalah Dosen STIE IBMI Ketua Investigasi KAMG, (Komunitas Air Mata Guru)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline