Lihat ke Halaman Asli

Bennaya Jonathan Siagian

Siswa SMA Kanisius Jakarta

Harga dari Kebebasan dan Hak Asasi Kita Hari Ini

Diperbarui: 18 Maret 2023   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Main Thesis

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak inheren kita sebagai manusia. HAM bukan pemberian siapapun, namun melekat di dalam diri setiap manusia tanpa terkecuali. Di Indonesia, peristiwa-peristiwa sejarah terus berkontribusi dalam perkembangan pemahaman dan penegakan HAM. Terlebih dalam periode pemerintahan Orde Baru (tahun 1966-1998), rezim otoriter Soeharto yang tidak menghormati HAM melahirkan beragam tragedi yang berdampak nyata sampai hari ini. Salah satunya adalah penculikan aktivis mahasiswa tahun 1998.

Peristiwa 1998 ini menjadi momentum penting bagi sebuah bangsa yang baru merdeka dalam memperkuat kesadaran dan penegakan HAM-nya. Berangkat dari peristiwa ini, Indonesia menjadi semakin mempertegas proteksinya terhadap hak asasi masyarakat; muncul kesetaraan hak-hak warga negara, perlindungan terhadap kaum minoritas, dan kebebasan berpendapat. Dengan demikian, kebebasan berdemokrasi dan berekspresi yang kita rasakan hari ini dibayar mahal oleh sejarah yang dilalui bangsa, yaitu penculikan aktivis mahasiswa tahun 1998.

Historical Facts

Peristiwa tersebut tidak lepas dari continuum sejarah Gerakan Mahasiswa (GERMAS) sejak tahun 1990-an awal. "Kediktatoran" Orde Baru -- demikian para aktivis menjulukinya -- terus berupaya mempertahankan kekokohan jabatan mereka dengan mengontrol kebebasan berpendapat dan berdemokrasi. Suara kritis dibungkam, pendapat public dikendalikan, dan kampus hanya menjadi tempat belajar yang buta politik. Mahasiswa tidak tinggal diam, mereka terus membaca sejarah dan berdiskusi dengan senior 'angkatan terdahulu' mereka untuk memperoleh perspektif-perspektif yang kritis. Alhasil, mereka melakukan pergerakan-pergerakan yang datang dari segala penjuru negeri.

Presiden Soeharto melihat pergerakan ini sebagai sesuatu yang berbahaya dan dapat berujung pada insurjensi. Menurut hasil rapat yang diadakan beliau, terbitlah perintah "pengamanan" terhadap gerakan mahasiswa ini. 

Pengamanan yang dilakukan melibatkan begitu banyak penculikan dan penghilangan secara paksa, yang tentunya semakin memantik api amarah dalam diri mahasiswa. Pergerakan semakin panas dan masif, sampai-sampai di Universitas Gadjah Mada (UGM), massa berani membangun patung Soeharto hanya untuk dibakar kembali. Menanggapi pergerakan yang semakin memanas, para petinggi militer seakan-akan bersaing untuk mendapatkan kredit dari Soeharto. Mayor Jenderal Prabowo Subianto memberikan perintah kepada Mayor Bambang Kristiono untuk menangkap aktivis yang dianggap radikal dan mengancam keamanan nasional. Dari sinilah kemudian terbentuk Tim Mawar.

Dalam menjalankan tugasnya, Tim Mawar menyusun daftar prioritas penangkapan berisikan sembilan nama anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang saat itu berusaha menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR; Nezar Patria salah satunya. Berdasarkan hasil wawancara singkat melalui telepon dengan Bapak Nezar Patria, beliau diculik pada tanggal 13 Maret 1998 di sebuah rumah susun di Klender pada pukul 20.30 WIB. Bersama salah satu temannya, Nezar dibawa dalam kondisi diborgol dan ditutup wajahnya ke Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus di Cijantung. 

Di sana, Nezar mengalami interogasi, penyiksaan, dan penganiayaan. Ia dipukuli, digantung terbalik (kaki di atas dan kepala di bawah), dan disetrum di bagian dada dan paha. Nezar berkali-kali hampir tewas bahkan nyaris dieksekusi. Penangkapan dan penyiksaan ini bersifat rahasia, dalam artian hanya segelintir personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengetahuinya. Ketika sempat terjadi kebocoran informasi, Nezar dan rekan-rekannya dipindahkan ke Polda Metro Jaya. Di situ, beliau terus mendengar dikumandangkannya lagu Gugur Bunga di radio yang menandakan adanya mahasiswa tertembak mati dalam demonstrasi Trisakti.

Nezar dibebaskan pada 5 Juni 1998. Setelahnya, pelaku masih bebas berkeliaran, bahkan ada yang memperoleh promosi dan menempati jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan pascareformasi. Setelah semua yang dilaluinya, Nezar masih mengalami trauma selama satu sampai dua bulan, terkhusus kepada orang yang bertubuh tegap, berkacamata hitam, menggunakan handy talky (HT), dan membawa Toyota Kijang berkaca gelap.

Critical Analysis

Melalui peristiwa penculikan aktivis mahasiswa, Soeharto dan pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan pelanggaran HAM berat. HAM yang dilanggar di antaranya adalah; hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, bebas dari tindak penyiksaan, diadili secara adil dan terbuka, tidak bersalah hingga terbukti bersalah, berpartisipasi dalam demokrasi, berkumpul secara damai, dan kebebasan berekspresi. Peristiwa ini menjadi penanda penting akan perlunya penguatan instrumen-instrumen hukum negara. Saat itu, hukum tidak mampir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Impunitas terus terjadi, yang menyebabkan calon pelaku pelanggaran HAM merasa tidak ada hukuman yang berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline