JAKARTA --SEPULUH TAHUN lalu, atau tepatnya pada awal Agustusan, penulis sempat bersilaturahmi dan bersilangan nasib, dengan salah satu aktris senior Indonesia, Nani Wijaya. Sebagai salah satu artis senior yang masih tersisa dan disegani di dunia perfilman Indonesia, Nani Wijaya, ternyata pada mulanya tidak pernah benar-benar berniat menjadi artis. Perempuan kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 10 November 1944, ini ketika kecil bercita-cita menjadi diplomat.
Karena itulah, tidak mengherankan jika dia memutuskan masuk di Universitas Indonesia Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (1962-1963). Bahkan saat remaja pun dia tetap ingin menjadi diplomat. "Tapi apa boleh buat, ternyata daya tarik dunia seni peran lebih menggoda," ujar istri tokoh film Misbach Yusa Biran ini.
Hanya bisa merampungkan jenjang pendidikan sampai Sarjana Muda di jurusan Kriminologi, dia akhirnya menetapkan diri terjun 100 persen menekuni dunia seni peran. "Mulyana W Kusumah itu adik kelas saya jauh. Kalau saya rampungkan kuliah saya mungkin sekarang sudah mendapat gelar Dra," kisah ibu Nina Kartika (37), Tita Fitrah Soraya (35), Cahya Kamila (32), Firdausi (31), Farry Hanief (30), dan almarhum Sukma Ayu ini.
Sejak kecil, Nani memang dekat dengan dunia seni, teristimewa seni tari. Dia bahkan pernah bergabung dengan organisasi kesenian Tunas Mekar di bawah naungan RRI (Radio Republik Indonesia) sekitar 1955-1956-an. "Kegiatan saya macem-macem, dari tari, nyanyi, deklamasi, sampai musik. Tapi karena saya seneng menari, saya mendalami tari. Saya masih ingat...waktu itu sedang ngetren tari dari Sumatera, Serampang Dua Belas."
Dari kepandaian menari inilah pintu karier di dunia layar lebar mulai terkuak. Menjadi juara umum pada ulang tahun Tunas Mekar, membuat namanya diberitakan beberapa media Jakarta.
Kebetulan saat itu perusahaan film Anom Pictures memerlukan pemain-pemain baru sehingga jalan kesuksesan mulai terbuka. Setelah dihubungi oleh perusahaan film yang sekarang sudah bubar itu, bermainlah dia dalam film Darah Tinggi. "Waktu itu, 1958, saya masih SMP, tentu saja masih genit-genitnya. Cuman bedanya saya nggak pernah ikut lomba putri-putrian," kata Nani sambil menebar tawa, "Waktu itu bintang film Indonesia yang sedang ngetop antara lain Ida Noorsanti, Bambang Hermanto, dan Bambang Irawan."
Dalam film arahan sutradara Lilik Sugiyo itulah arti seni peran mulai dirasakan dari aktor-aktris lawan main seperti almarhum Bagyo, Wolly Sutinah (Mak Wok), Iskak, dan Endang Kustiningsih. "Dan di sinilah saya baru menyadari main film lebih susah dari menari. Karena musti ada kamera, make up, skenario dan sebagainya."
Setelah itulah puluhan film mulai dilakoni dengan tekun dan penuh perjuangan. Hasilnya? Ketika memerani tokoh Ibu dalam Yang Muda Yang Bercinta (1977), dan RA Kartini (1982) arahan Sjuman Djaja, Piala Citra untuk kategori Pemeran Pembantu Wanita Terbaik berhasil diraih. Dan peran ibu dalam Bajaj Bajuri pula yang membuat dia dianugerahi The 1st Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Selain itu, tentu penghargaan tersebut, dia terima karena telah berdedikasi besar pada perfilman Indonesia.
Kini, ibu di dunia nyata yang terpukul dengan kemeninggalan anak bungsunya, Sukma Ayu, itu, hanya mempunyai sebuah keinginan. "Saya hanya ingin mendirikan sekolah seni peran. Saya ingin menularkan apa pun yang saya bisa. Ya, meski hanya pengalaman-pengalaman kecil selama mendalami dunia seni peran, saya kira akan berguna dan bermanfaat bagi orang lain."
Di tengah kesibukan menjadi ibu yang diakui sangat berat sekali pada zaman sekarang ini, dia meyakini bahwa proses belajar tidak akan pernah rampung. "Belajar apa pun, dari mana pun dan kepada siapa pun, akan saya lakukan," kata Nani, semangat.
Film Kita Akan Bangkit Lagi.