Lihat ke Halaman Asli

Romo Mudji Sutrisno: Pemikir yang Seniman

Diperbarui: 10 Oktober 2016   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Romo Mudji, SJS, penulis di Yasnaya Polyana, Red Square, Moskwa Rusia 2006. (dok pribadi/BB).

JAKARTA-- PADA 2006 penulis pernah sangat intens ‘ngangsu ilmu’ kepada Romo Mudji Sutrisno. Bahkan pernah terlibat dalam sebuah proyek bersama untuk memfilemkan para Indonesianis di Rusia. Bersama Romo Mudji, kala itu, penulis pergi ke Moskwa, St. Petersburg, Yekaterinburg, hingga Yasnaya Polyana atau lebih dikenal sebagai rumah penulis sastra dunia Leo Tolstoy, yang terletak di propinsi Tula.Mundur ke belakang, pada awal Desember 2003, penulis bahkan sempat mampir ke “kos-kosan” Romo Funky yang “Memayu Hayuning Bawana” ini. Sebagaimana kesehariannya di Rusia bersama penulis pada 2006, dan tahun-tahun berikutnya. Pada 2003, kesederhanaan dan kebersahajaan telah teramat lekat dengan laki-laki kelahiran Surakarta, 12 Agustus 1954 ini. Franciscus Xaverius Mudji Sutrisno memang tumbuh di lingkungan guru. Dari Guru yang bersahaja itulah, kesederhanaan itu mengalir di darahnya.

Pada masa kecil dia terpana pada pada seorang Romo. Dalam pandangan dia, seorang Romo dapat ”masuk” dan bersaudara dengan segala lapisan masyarakat sembari menularkan ilmunya.

Kini, jangan pernah meragukan kredibilitas Guru Besar Bidang Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini dalam dunia pendidikan. ”Saya pernah mengajar dari anak TK (Taman Kanak-Kanak), SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi.”

Apa yang dia ampu? ”Saya mengampu pelajaran menggambar di TK dan SD. Di banyak kesempatan saya kerap bertemu bekas murid TK yang sudah jadi. Saya sudah lupa pada paras mereka. Mereka yang biasanya mengingatkan…,” kenang dia.

mudji-02-jpg-57f76fdc927a61c429a72a6d.jpg

Pada suatu hari, penulis puluhan buku yang meyakini ide itu ”berkaki” ini memang memutuskan masuk ke Sekolah Seminari. Dia kemudian mengasah kemampuan berfilsafat dan teologi di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, pada 1977. Akhirnya dia menajamkan pendidikan S2 dan S3 di bidang Filsafat di Universitas Gregoriana Roma, pada 1980 dan 1987. Berhenti sampai di situ? Belum. Pada 1990 Romo funky ini juga merampungkan Summer Course Religion & Art di Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang.

Dan kecintaan serta pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin dibuktikan dengan memilih mundur dari anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) beberapa waktu lalu. ”Dunia pendidikan kita sedang krisis, bukan karena sistemnya saja. Pendidikan di Indonesia menjadi juga jadi ajang rebutan politik aliran kepentingan,” katanya sembari mengkritik para politikus yang terus saja ber- STMJ. STMJ bukan minuman enak melainkan kependendekan dari Sembahyang Terus, Maksiat Jalan.

Meneguhi bahwa ilmu itu seperti air, pendiri Persatuan Sepak Bola Anak Guru berkeyakinan ilmu dapat menghilangkan rasa haus orang lain. ”Kalau Anda berikan air itu kepada orang yang haus pasti menyegarkan. Demikian pula air yang ada di gunung-gunung pasti menghijaukan semua. Jadi tidak ada ilmu yang Anda berikan akan muspra,” katanya.

Pengagum Romo Mangunwijaya dan Soedjatmoko ini juga menjunjung tinggi mantan guru-gurunya di SD Pangudi Luhur Surakarta. ”Mereka kalau menghukum itu memberikan kertas dan pensil berwarna, sehingga kita bisa melukis. Apakah ada guru sekarang yang menerapkan itu? Bahkan dalam ilmu bumi kami sengaja diarak, ke museum, ke Radya Pustaka. Jadi, ilmu buminya tidak hafalan. Bahkan senam pun diiiringi gamelan.”

Romo Mudji menyimak anthem Indonesia Raya yg dibawakan musisi jalanan di Kota Para Raja, sepelemparan batu dari St Petersburg, Rusia. (2006). foto: benny benke

Dia menambahkan dalam pendidikan yang paling utama adalah rasa dan religiusitas yang tidak fanatik. ”Mesti humanis,” tandas dia.

Sebagai pengajar Moralitas Etika di Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia, Romo Mudji menekankan pendidikan harus memahami betul rasa dan kejiwaan siswa dari TK hingga Perguruan Tinggi.

Dan sebagai konfirmasi terhadap 18 tahun masa pengabdiannya pada dunia pendidikan gelar Profesor telah diterima. ”Pendidikan itu semestinya memayu hayuning bawana; memperindah realitas. Dengan demikian nilai humanisi dalam pendidikan akan mampu mengubah makna homo homini lupus menjadi homo homini socius”.

Romo Mudji dan penulis di Kota Para Raja ( Ekaterinburg)

Saat itu, pada 2003 lalu, Romo Mudji mengenang. PEMILU 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru? Pertanyaan semacam itu layak dilontarkan kepada Prof Dr FX Mudji Sutrisno yang selain aktif mengamati kondisi sosial politik Indonesia juga pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tak mudah bercakap-cakap dengan rohaniwan yang kelewat sibuk itu. Namun, syukurlah, saat itu, sehari menjelang keberangkatan ke Yunani dalam rangka mengikuti YunanIndonesia Ar(t)chipelago -ajang olimpiade kebudayaan- di Athena dan Corfu, pada pagi yang masih menyisakan dingin, budayawan dari ”kesunyian katedral” itu bersedia berbincang-bincang dengan penulis di Johar Baru, Rawasari, Jakarta. Berikut petikannya.

Pemilu 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru. Benarkah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline