Salam Perjuangan,
Jelang gelaran Pilkada serentak pada bulan Juni 2018 mendatang, sebuah wacana "baru tapi lama", yakni Pilkada (Gubernur, Bupati/Walikota) secara tidak langsung/dipilih oleh DPRD kembali mencuat.
Pilkada oleh DPRD sebenarnya sudah pernah dilakukan dulu di era sebelum reformasi, dan wacana untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD sudah sering diperbincangkan dalam berbagai diskursus, namun karena penolakan dari masyarakat wacana ini pun hanya sebatas wacana saja.
Ide Pilkada oleh DPRD ini dilatarbelakangi oleh bias dari pelaksanaan Pilkada langsung, salah satunya adalah maraknya konflik yang muncul akibat hegemoni dukungan yang berlebihan. Selain itu, ada juga alasan mengapa Pilkada langsung diubah menjadi Pilkada oleh DPRD karena argumentasi bahwa kualitas Kepala Daerah produk Pilkada langsung ternyata tdk sesuai dengan apa yang diharapkan.
Persoalan kapasitas/kapabilitas, persoalan profesionalisme dan performance pemimpin terpilih, persoalan integritas dan masalah hukum yang menjerat Kepala Daerah hingga soal harmonisasi hubungan antara Kepala Daerah dengan wakilnya adalah persoalan yang lumrah dan menjadi tren produk Pilkada langsung.
Harus diakui selama ini sudah terpola dalam pikiran masyarakat bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah ketika rakyat diberi kesempatan untuk memilih dan menentukan sendiri pemimpinnya.
Tidak heran, terjadi penolakan demi penolakan dari masyarakat atas munculnya wacana untuk mengembalikan proses Pilkada ke tangan DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat. Argumentasi yang paling sering diangkat adalah bahwa Pilkada oleh DPRD adalah suatu kemunduran demokrasi. Lalu benarkah demikian? Apakah Pilkada langsung lebih baik dari Pilkada oleh DPRD?
Pada kenyataannya, Pilkada langsung oleh rakyat membawa konsekwensi yang cukup masif dan kompleks. Mulai dari adanya konflik horizontal di masyarakat, pelanggaran Pilkada yang dilakukan oleh peserta maupun penyelenggara, money politic hingga adanya gugatan hukum sebagai protes terhadap hasil Pilkada, yang tentu saja mempengaruhi stabilitas ekonomi maupun politik dalam negeri.
Selain itu, dari sisi anggaran, Pilkada langsung (apalagi dilakukan secara serentak) membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sayangnya, dengan besaran anggaran pelaksanaan Pilkada yang sangat besar itu jika dibandingkan dengan output yang diharapkan; kualitas Kepala Daerah yang dihasilkan masih jauh panggang dari api.
Bagaimana jika Pilkada oleh DPRD? Apakah persoalan-persoalan tersebut diatas tadi sudah tidak akan muncul lagi? Tidak segampang itu mengatakannya, tapi mari kita lihat. Pilkada oleh DPRD secara sederhana dapat diartikan sebagai proses mendelegasikan kuasa kedaulatan rakyat untuk memilih dan menentukan Kepala Daerah nya ke tangan DPRD selaku representasi rakyat.
Pengertian ini sebenarnya satu tarikan nafas dengan frasa pada Sila ke 4 "...dalam permusyawaratan perwakilan", maka secara formil Pilkada oleh lembaga perwakilan memang diamanatkan oleh Pancasila. Artinya, pelaksanaan Pilkada oleh DPRD dari sisi substantif ataupun prosedural "kedaulatan rakyat" tidak kehilangan maknanya. "Kedaulatan" tetap berada ditangan rakyat yang direpresentasikan oleh DPRD.