Lihat ke Halaman Asli

Benjamin Simatupang

Ayah, suami dan anak

Militer, Demokrasi, dan Pancasila (Memperingati 100 Tahun TB Simatupang, 28 Januari 1920 - 2020))

Diperbarui: 17 Februari 2024   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.liputan6.com

Peranan resmi Letjen Tahi Bonar Simatupang (Tahi Bonar berarti Tujuan yang benar, selanjutnya disebut : Pak Sim) dalam pemerintahan berlangsung selama 14 tahun (1945 -- 1959).  

Setelah berada di luar pemerintahan, Pak Sim mencurahkan waktu dan pemikirannya ke tingkat yang lebih luas lagi dengan memberikan kontribusi di berbagai bidang, antara lain : lingkup gereja (lokal, nasional dan internasional), dialog antar agama / peranan agama dalam pembangunan, hubungan militer dan demokrasi, pendidikan, dan politik (Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila).   

Apakah masih ada arti Pak Sim bagi kita di abad 21 ini?  

Tulisan ini dibuat dengan keyakinan bahwa cita-cita dan perjuangan Pak Sim masih mempunyai makna bagi kita sekarang ini dan dalam tahun-tahun yang akan datang.  Khususnya, perhatian Pak Sim dalam hubungan militer dan demokrasi di Indonesia.

Catatan biografis di bawah ini semoga mengantarkan pembaca mengenal lebih baik profil Pak Sim.

Batal menjadi dokter, terjun ke militer 

Pak Sim, menurut Rosihan Anwar, wartawan senior, adalah seorang "wonder boy", seorang yang luar biasa cerdas, dan pada usia muda telah mencapai tingkat kedewasaan intelektual.  Selain cerdas, ia juga bersikap kritis. 

Saat masih bersekolah di MULO (setingkat SMP) Tarutung, Sumatra Utara, pak Sim remaja tepergok membaca pidato pembelaan Bung Karno, "Indonesia Klaagt Aan" / Indonesia Menggugat, dan nyaris dikeluarkan dari sekolah.  Namun karena prestasi akademisnya yang mengangkat nama sekolah, pihak sekolah membatalkan niat tersebut. 

Di AMS (setingkat SMA), Batavia (Jakarta), Pak Sim pernah berdebat sengit dengan Meneer Haantjes, guru sejarah.  Sang guru sejarah mendalilkan bahwa penduduk "Hindia Belanda" tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan, karena perbedaan yang begitu besar antara suku-suku yang ada, dan tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda.

Oleh sebab keadaan fisiknya (badan terlalu pendek, mata kurang tajam, dll.) tidak memungkinkan menjadi tentara yang baik. Pak Sim remaja dengan emosional mendebat bahwa sang guru tidak memahami dinamika sejarah, dan sang guru dianggap menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan oleh sejarah selanjutnya.

Kisah di atas menunjukkan Pak Sim juga seorang idealis tulen.  Mengidealisasikan kemerdekaan di kala kaum penjajah sedang berada di puncak kekuasaan, hanya mungkin diperbuat oleh seorang idealis tulen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline