"Selamat datang di Konohagakure, eh maaf, Republik Indonesia, di mana Wakil Presiden hanyalah jabatan second class sekalipun kekuasaannya tidak bisa dikomparasikan dengan jabatan Presiden Republik Indonesia."
Konklusi yang singkat, padat, dan jelas di atas bisa kita temui dalam konstitusi bernegara kita, yaitu UUD 1945-2002. Silahkan ditenggok, sampai di masa RI menganut UUD 2002, penjelasan akan tugas Wapres hanyalah seorang pembantu Presiden. Maka tak ayal bilamana Bernard Schwartz, seorang pebisnis sekaligus anggota Partai Demokrat Amerika, menganggap bahwa Presiden Indonesia adalah jabatan paling powerfull di Republik Indonesia.
Anggapan Bernard Schwartz cukup mendasar karena ia tidak mengenal konsep yang demikian berlaku di RI dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Wakil Presiden pun punya fungsi yang cukup berpengaruh yakni ia adalah jabatan yang lebih tinggi dari Senat (Majelis Tinggi) oleh sebab itu kedudukan Wapres AS acap beroposisi dengan Senat.
Menarik 'kan?, tentu saja. Bagi anda yang tidak familiar dengan Senat, sedikit gambaran bahwa Senat biasanya dianut oleh negara dengan sistem dua kamar (bikameral): upper house dan lower house. Senat berada dalam upper house, di mana mereka adalah kalangan bangsawan (aristokrat); sedangkan lower house atau representatif (DPR) adalah dari kalangan profesi. Sisi menariknya, dengan begitu Wapres AS yang berasal dari kalangan orang biasa dapat berbantah dan beroposisi terhadap kalangan bangsawan. Bukan saja "American Dreams" banget, tapi juga idealnya negara Republik (klik untuk baca: "Apa Itu Makna Republik Indonesia?")
Bicara soal falsafah bernegara dan berkebangsaan, tentunya bahasan kita akan sedikit menyerempet dari inspirasi klasik/kuno yang hidup dan meruang dalam wilayah kesatuan RI. Meski tak sepenuhnya, hal ini diamini oleh Bung Karno sebagai penggali--bukan sebagai pencetus falsafah baru sebuah bangsa--Pancasila.
Dalam catatan sejarah maupun tinggalan arkeologis, tidak pernah ada seorang Wakil Raja (Kerajaan). Raja dalam riwayat nusantara adalah satu-satunya pemegang otoritas tertinggi. Hal ini tergambar melalui peninggalan prasasti-prasasti yang berisi pujian kepada Raja yang dianggap sebagai jelmaan Dewa. Konsekuensinya, Raja tidak memerlukan wakil sebab ia sendiri adalah jelmaan supreme being pelestari kekuasaan kerajaan (dunia materil) dan dunia kosmos.
Setelah Raja, sisanya adalah keturunan biologis Raja, atau bergelar Rakryan Mahamantri Katrini, yang biasanya cuma bisa berebut kekuasaan. Guyonan, tapi fakta. (- -,)
Di sisi lain, kita barangkali menduga bahwa Mahapatih setara dengan Wakil Raja, namun dugaan itu tidaklah tepat. Menurut Pusponegoro, Mahapatih setara dengan Perdana Menteri, artinya ia adalah pelaksana pemerintahan semata.
Alam berpikir klasik tersebut kemungkinan yang terwarisi oleh bangsa Indonesia sampai hari ini. Dengan demikian, Wakil Presiden seakan hanya pengisi jabatan luang sebagai isyarat bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Analogi tersebut cukup masuk akal, sebab seandainya Indonesia sejak era Soekarno-Hatta menerima sistem parlementer secara utuh dengan Perdana Menteri, maka jabatan Wakil Presiden yang diisi oleh Bung Hatta tidak perlu ada; dan Republik Indonesia yang berusia hitungan bulan itu benar-benar serupa dengan gambaran era klasik seperti Majapahit.
Hal itu tentu berkonsekuensi terhadap magnum opusnya Soekarno saat BPUPKI, yang sepantasnya berganti menjadi, "blablabla sebagai falsafah berkerajaan dan berkawula". Hiks.