Dampak dari Pademi Covid-19 di Indonesia telah menyasar ke berbagai sendi kehidupan salah satunya aspek budaya, imbasnya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan saja, namun telah merangsek ke masyarakat pedesaan. Dampak langsung dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali yang mana untuk kali pertama tradisi Sadranan tahun ini akan terasa sangat berbeda.
Hal ini menindaklanjuti himbauan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia, tentang social/physical distancing dan pembatasan kerumunan atau kegiatan warga yang menimbulkan keramaian, guna memutus rantai peneyebaran virus Covid-19.
Setelah diadakan rapat antara Kepala Desa se-Kecamatan Cepogo dengan Pemerintah Kecamatan Cepogo, akhirnya tercapai kesepakatan yaitu pembatalan event Grebek Sadranan dan peniadaan acara terima tamu di rumah warga, yang kemudian diteruskan melalui musyawarah di desa masing-masing yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak terkait seperti Dinas Kesehatan dan Kepolisian.
Event Grebek Sadranan yang masuk tahun kedua pada tahun ini dan sedianya akan dilaksanakan pada 4 April 2020 terpaksa dibatalkan.
Kemudian untuk tradisi adat Nyadran, masyarakat dipersilahkan untuk tetap menjalankan tradisi dengan tetap mengutamakan aspek kesehatan dan menjaga jarak antara satu orang dengan yang lainnya.
Masyarakat diminta hanya melakukan acara bersih makam dan sedekah kenduri di makam, tanpa menyelenggarakan acara open house atau mengundang tamu dari luar daerah seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Beberapa desa yang akan terdampak kebijakan ini antara lain Sukabumi,Sumbung, Gedangan dan Wonodoyo.
Tradisi Sadranan di Cepogo diselenggarakan setiap satu bulan sebelum bulan puasa yaitu pada bulan Ruwah (Kalender Jawa) atau Sya’ban (Kalender Hiriyah) di mulai pada tanggal 12 Ruwah hingga sepekan sebelum bulan Ramadhan dan dilaksanakan satu hari pada tanggal yang berbeda-beda untuk masing-masing daerah.
Prosesi Nyadran terdiri dari beberapa rangkaian ritual antara lain kenduri di rumah, bersih makam, hingga puncaknya yaitu kenduri ageng / sedekah secara masal di pemakaman.
Keseluruhan kegiatan mengandung filosofi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan leluhur dan manusia dengan Tuhan yang juga mewakili tiga aspek kehidupan yaitu sosial, budaya dan agama.
Tradisi Sadranan Cepogo sendiri bisa dikatakan sejajar dengan hari raya lainnya kendati tidak ada dalam kalender nasional, dilihat dari antusiasme pengunjung yang bertambah setiap tahunnya, belakangan ini Sadranan Cepogo mendapatkan perhatian dari masyarakat dari kota-kota besar seperti Solo, Jogja dan Semarang.
Sadran atau Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Masyarakat Jawa meyakini bulan Ruwah adalah salah satu bulan yang paling sakral dimana pada bulan ini dipercayai adalah bulannya para leluhur atau bulanynya para Arwah.