Lihat ke Halaman Asli

Saya Sariawan, Saya Mendengar

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bijak itu selalu datang belakangan. Itupun kalau hal baik datang menggantikan semua hal buruk sebelumnya. Hahaha, paling tidak itulah yang Saya rasakan dan bisa Saya bagi kepada semua.

Coba angkat salah satu tangan hingga tepat di depan wajah. Lalu katupkan semua jari, selain ibu jari. Perhatikan ibu jari itu baik-baik. Dan ya, sebesar itulah luka sariawan yang hinggap tepat di bawah lidah Saya sudah empat hari ini. Benar-benar sebesar ibu jari, paling tidak ibu jari Saya ya. Dan benar-benar tepat di bawah lidah Saya sebelah kiri. Langganannya sih di bibir, tapi seumur-umur baru ini kali pertama Saya sariawan di lidah. Dan rasanya sungguh ampun-ampunan. Segala macam obat sudah Saya coba, mulai dari tablet hisap vitamin C, sari penyegar adem-ademan, obat oles-olesan, sampai minuman si Miss Universe. Tapi hasilnya, tetap saja ampun-ampunan ya ampun.

Buat Saya, panas dalam begini bukan cuma perkara susah makan nasi Padang plus rendang saja, tapi yang juga tidak kalah menyiksanya, Saya jadi tidak bisa berbicara. Tahu sendirikan, buat Saya larangan berbicara jauh lebih berat dari pada dilarang makan. Benar-benar ujian yang sangat berat.

Oh bukan, maksud Saya bukan berbicara ala profesional yang sering muncul di tivi. Bukan juga ala anggota dewan wakil rakyat bersuara di parlemen sana. Jangankan itu, berbicara dan bertanya di kelas saja Saya dulu pemalas, pemalu dan penakutnya minta ampun. Berbicara untuk mengungkapkan rasa cinta Saya kepada gadis pujaan apalagi, gemetaranya setengah mati.

Tapi kalau lagi ngobrol, wah, bicara tuk pamer diri Saya susah tuk dikendalikan. Tidak peduli kisah bahagia atau sedih, Saya harus tetap nomor satu. Kalau ga bisa makan, lah yang lapar ya Saya sendiri. Tapi kalau tidak bisa bicara, bisa kalah gengsi Saya. Mana jadwal Saya bertemu orang dalam beberapa hari ini cukup tinggi. Bertemu teman lama yang baru saja menempati rumah barunya, bertemu dengan rekan yang baru saja menghalalkan tidur bareng dengan pasangannya, bertemu dengan seorang kerabat yang baru pulang dari luar negri sana. Sungguh Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Saya hanya untuk jadi pendengar buat mereka. Bisa-bisa dipandang sebelah mata Saya. Bisa-bisa dianggap kalah gengsi hidup Saya selama ini.

Seorang teman juga hendak bercerita tentang betapa pedih hidupnya beberawa waktu terakhir ini. Jangan salah, urusan beginian Saya juga tidak mau kalah untuk adu cerita betapa jauh lebih pedihnya hidup Saya.

Soal bercerita, Saya jagoannya. Teman yang baru pulang dari negara Menara Pisa saja kalah antusias tuk melawan cerita Saya tentang pemandangan dari puncak Monas sana. Teman yang kerja di perusahaan minyak di Inggris sana, jadi minder dengar cerita Saya tentang pekerjaan Saya jadi kuli bangunan di Jakarta.

Namun sekarang Saya hanya bisa menjadi pendengar, oh sungguh akan sangat menyiksa sekali.

Tapi karena sudah kadung janji, akhirnya terpaksa juga Saya menemui mereka sesuai rencana.

Dan tahukan Anda akan betapa Saya tersiksanya selama mendengarkan mereka bercerita?

Sungguh, tidak tertahankan tadinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline