saat menulis ini pun berusaha ku hadirkan dirimu
namun yang kutemui adalah gulungan kisah selama perjalanan.
tahu kah kamu, tangisan hati mereka begitu terbaca, sedang tanganku tak mampu membuat senyum mereka merekah, meski sedikit waktu ku pintakan.
bila rasa peduli masih belum dirasakan oleh tukang sol sepatu demi memperindah kaki tuan besar. paku pun tak berkutik walau telah menancap merekat. tak ada lagi yang mendekat.
manakala gemerincing gelang keemasan menyilaukan mata mbok sayur saat mememilah milih
brokoli tercekik menjerit merasakan perih hati petani
pikulan menjadi saksi kerja keras mereka yang dihargai murah.
bocahpun menangis dalam gendongan ibunya, menahan haus dan lapar
panas terik menggelepar
mengais rongsokan mencakar-cakar
merampas usia keemasannya
masihkah kita tutup mata dan telinga membesarkan kelakar?
sungai tak mampu menyampaikan pesan, lihatlah, telah bersesak limbah dan kotoran
kita kehilangan kejernihan hati dan pikiran.
meski meluap, bukan lagi ikan yang diantar ke darat.
belum selesai lagu yang kunyanyikan, angin menggiring awan gelap, mengendap di atas kepala
debu bertaburan di mata.
apakah harus kita melihat ini semua? tanpa bisa berbuat apa-apa?
Malang, senja, 21.07.2019
swarna hati, ide dari guru Ropingi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H