Lihat ke Halaman Asli

Ayah, Aku Ingin Jadi Bunga!

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Ayah, aku ingin jadi bunga!" Kata Melati putri kecilku tiga hari yang lalu. Matanya yang bening sedikit meredup karena sedang menderita demam.

"Mengapa kauingin menjadi bunga, sayang? Bunga hanya mekar sesaat kemudian layu dan akhirnya gugur ke tanah. Lalu membusuk. Apakah kaumau seperti itu, nak?" Tanyaku heran bercampur geli, sambil memperbaiki selimut yang menutupi tubuhnya.

"Pokoknya aku ingin jadi bunga, ayah!" Suara putriku yang berusia 10 tahun itu terdengar mulai merajuk. Kuraba keningnya. Suhu badannya mulai normal setelah diberi sirup penurun panas.

"Tetapi, mengapa tiba-tiba kauingin menjadi bunga, nak?" Kembali aku bertanya.  Kugenggam jemarinya yang lembut. Kutelusuri wajah ayu itu. Tak kutemukan senyum yang biasanya di sana.

"Aku ingin menjadi bunga, agar disayang ibu, ayah!" Jawab Melati dengan wajah sedih. Aku terkesiap.

"Ibu lebih menyayangi bunga-bunganya daripada aku, ayah. Setiap pagi ibu lebih dahulu mencium bunga-bunga itu, sementara aku selalu mendapat giliran kedua. Kalau belanja, ibu lebih mendahulukan ke toko bunga daripada membeli kebutuhan sekolahku. Saat aku dapat nilai bagus, wajah ibu biasa-biasa saja. Tetapi kalau bunga-bunganya bermekaran, ibu cerita ke sana kemari, ke teman-temannya. Bila pot bunganya pecah, atau bunganya mati, ibu panik dan sedih! Giliran aku terjatuh dan kesakitan ibu malah marah-marah. Pokoknya, ibu lebih sayang bunga daripada aku. Aku diberi nama Melati, karena ibu sayang bunga, kan, ayah?" Kata-kata protes itu mengalir bagai air dari bibir mungil putriku waktu itu.

Aku terhenyak. Kututupi keterkejutan di wajahku dengan segera mengambil posisi berbaring di sisinya. Kubelai rambut yang biasa dikepang itu. Kukatakan kepadanya, bahwa kasih-sayang orangtua kepada anak-anak mereka tidak ada bandingannya. Jikapun ada sikap orangtua yang terkesan mengabaikan anak-anak pada saat-saat tertentu, bukan berarti cinta-kasih mereka berkurang.

"Kau lebih cantik dari semua bunga di dunia, sayang. Dan, ayah percaya, ibu sangat mengasihimu, melebihi kasih-sayangnya kepada bunga-bunga itu. Bahkan cinta ibu kepadamu, mengalahkan cintanya kepada ayah!" Ucapku sembari terus membelai rambutnya.

"Ayah, aku tetap ingin menjadi bunga!" Ujarnya lirih.

Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Melati telah tertidur di dekapanku. Sementara di luar terdengar suara perempuan mengidung di antara suara deru air yang memancur deras. Ibunya sedang menyiram bunga-bunga di taman depan rumah.

"Ayah, aku ingin menjadi bunga!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline