Lihat ke Halaman Asli

Bening Alfiatur

ibu rumah tangga

Layangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika kau ikuti jalan setapak di sebelah surau kecil itu, kau akan sampai pada hamparan sawah yang dibiarkan mengering di musim kemarau. Dibiarkannya tanah yang haus akan air itu membelah lebar mengerikan. Ya. Ketika musim penghujan, sawah menjadi pengharapan bagi semua orang. Namun, ketika kemarau datang, sawah itu tak ubahnya lapangan tempat anak-anak menerbangkan layang-layang.

Disaat beberapa petani mengepulkan asap dari klobotnya sembari merutuki kemarau panjang. Dari balik awan, layang-layang mengintip sambil tersenyum bahagia, merasakan kebebasan, terbang, setelah berbulan-bulan hidup di pengasingan, di dalam gudang, dikencingi oleh tikus kemudian sobek di sana-sini.

Siang itu, tak ada angin. Matahari tepat diatas kepala, bahkan bayangan saja enggan mengikuti tuannya, Ia memilih bersembunyi. Ibu-ibu bermulut lebar duduk di teras menenggak es limun sampai tetes terakhir. Ditengah kegaduhan, aku melihat mereka berdua –kakek dan cucunya, berjalan tanpa alas kaki, menuju sawah. Si anak berumur tujuh tahun itu berjalan cepat sembari melompat, kegirangan. Satu tangannya memegang layang-layang kodokan, tangan yang lainnya menggenggam tangan si kakek yang mulai mengeriput. Ah. Pemandangan yang mengharukan, bukan?

Kakeknya memegang tali senur, anak laki-laki itu berjalan jauh menuju ke utara untuk menerbangkan layang-layangnya. Dari kejauhan, terdengar sayup-sayup suara kakek tua itu memperingatkan cucunya, agar berhati-hati jangan sampai kakinya masuk pada tela sawah. Kakek itu menambahkan, berhati-hati juga pada ular sawah, jangan kau injak ekornya.

Aku beritahu, menurut cerita yang aku dengar dari kakekku, dia –kakek tua itu merupakan orang paling jago dalam hal menerbangkan layang-layang. Tak ada yang bisa menandinginya. Kakekku tidak bohong. Ya, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat layang-layang itu terbang tinggi, naik sampai menyentuh langit.

Tak ada angin, daun-daun mematung.

Anak laki-laki itu bersorak-sorai, girang tiada kepalang. Anak laki-laki itu berkata pada kakeknya, lebih tinggi biar dia menyentuh langit, lebih tinggi biar dia bisa bersapa dengan burung-burung, lebih tinggi biar dia bisa melihatku dan kau dari atas sana, lebih tinggi biar dia bisa berkompromi dengan awan, agar dia munurunkan hujan.

Lebih tinggi.

Lebih tinggi.

Tepat sebelum layang-layangnya menyentuh langit, bersapa dengan burung, melihatnya dari atas dan berkompromi dengan awan. Layang-layang itu putus. Lepas dari talinya. Terbang bebas entah menuju kemana.

Serupa dengan daun dan pepohonan di sekelilingnya, anak itu mematung. Dan berkata dalam hati, layang-layang tak akan pernah kembali. Ketika ia melihat kakeknya berlari mengejar layang-layangnya yang terbang ke arah bukit terlarang, ia berkata lagi, kakek tak akan pernah kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline