Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Budaya

Diperbarui: 1 Maret 2024   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saya sangat beruntung bisa mempelajari ilmu filsafat;ilmu yang pada era ini kurang diminati.  Sekilas ilmu filsafat tampak sebagai ilmu yang kurang membumi dan terkesan abstrak. Saya pribadi, selaku filsuf pemula punya kesan yang demikian  sejak menggumuli ilmu tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, saya semakin mengalami passion dengan ilmu tua tersebut. 

Alih-alih mempelajari sejarah perkembangan filsafat, saya justru menyukai filsafat sebagai ilmu dan panduan kritis atas bidang-bidang ilmu lain. Segala bidang dan aspek kehidupan bisa dikaji secara filosofis. Dan memang, ke sanalah filsafat sebagai sebuah ilmu berperan. Kemanusiaan  akan dikaji dalam filsafat. Maka kita akan menemukan filsafat manusia. Begitu juga dengan politik, kebudayaan, kealaman dan lain-lain. Bahkan, filsafat juga memberi perhatian mendalam dan analitik terhadap konsep ada;konsep yang tampaknya remeh-temeh tetapi sangat mendasar, yang dikenal dengan filsafat ada (ontologi/metafisika).

Filsafat Kebudayaan: Saat ini saya sedang menggumuli salah satu di antara kajian filsafat itu, yakni filsafat kebudayaan. Bidang filsafat ini cukup menarik karena meninjau kebudayaan dari kaca mata filosofis. Apa yang dikaji dalam bidang ini? Tak lain dan tak bukan adalah kebudayaan manusia itu sendiri yang merupakan konkretisasi dari abstraksi budi manusia terhadap kehidupan. Lalu, aspek mana yang mau dibahas? Dalam ranah akademis dan keilmuan, bicara  aspek atau sudut pandang suatu ilmu, kita akan mengingat apa yang disebut dengan objek material dan objek formal.Objek materialnya adalah kebudayaan itu sendiri, sementara  yang menjadi objek formal dari filsafat kebudayaan adalah aspek pemanusiaannya. Artinya, filsafat akan menyorot upaya pemanusiaan dari setiap kebudayaan yang ada dalam hidup manusia. Maka  filsafat kebudayaan adalah refleksi kritis dan sistematis atas kebudayaan: usaha dan hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budi dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Inilah yang membedakan filsafat budaya dengan ilmu budaya lain, semisal antropologi. Antropologi bertujuan untuk mendeskripsikan budaya tanpa ada penilaian. Seorang antropolog akan meneliti dan menyelidiki kebudayaan dan unsur-unsurnya kemudian akan memaparkannya secara deskriptif dalam wacana ilmiah. Sementara filsuf akan menyelidiki kebudayaan dengan kaca mata filosofis;melihat apakah kebudayaan yang masih eksis itu memanusiakan atau justru mendegradasi kemanusiaan. Inilah yang menjadi upaya filsafat budaya. Maka boleh dikatakan para filsuf yang menyorot kebudayaan menjadi pengkritik dan penilai. 

Muncul pertanyaan, apakah ada kebudayaan yang tidak memanusiakan? Kita tidak bisa serta-merta memberi penilaian baik-buruk terhadap suatu kebudayaan. Perlu diperhatikan, bahwa filsuf bekerje dengan penuh reflektif dan berhati-hati. Harus kita sadari bahwa tiap-tiap unsur kebudayaan dalam berbagai bentuknya memiliki nilainya tersendiri. Ada kearifan lokal yang dijunjung suatu masyarakat. Maka kehati-hatian seornag filsuf perlu diperhatikan. Namun alih-alih memberi penilaian, filsafat digunakan sebagai teknik untuk melihat aspek terdalam dari suatu kebudayaan. Filsafat menggiring kita untuk melihat dan mendalami alasan dari adanya suatu konkretisasi budi:ritual, adat, upacara, kesenian, dll. Mau tidak mau, filsuf harus tahu seluk beluk suatu kebudayaan yang diselidiki.

Ada juga kebudayaan, yang mau-tidak mau harus dikritisi karena tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Salah satu contoh adalah ritual memotong jari sebagai wujud berkabung bagi janda dan duda yang ditinggal mati pasangannya. ritual ini hidup dan diprakktikkan  Praktik ini tentunya sangat tidak manusiawi dan tidak common sense. Sekalipun ada nilai atau kearifan yang dijunjung tinggi, tetapi secara akal sehat hal itu tidak bisa dibenarkan. Maka filsafat harus hadir bagi kebudayaan itu dan memberi pandangan yang kontradiktif terhdapnya. Namun harus diakui, tujuan filsafat hanya menggonggong dan menyuarakan apa yang jauh lebih manusiawi, bukan berintensi untuk mengubah. Filsafat tidak punya otoritas untuk itu. Kendati demikian, gonggongan dan kritisisme yang dilontarkan filsafat untuk kebudayaan itu mau mengiktiarkan bahwasanya apa saja yang diarifkan tidak mutlak benar. Segala kebudayaan tanpa dimungkiri berasal dari aktivitas manusiawi yang tentunya bisa keliru. Itulah yang mau digali dan diangkat filsafat ke permukaan, supaya tidak ada kecenderungan etnosentrisme dan radikalisme kebudayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline