Minggu pertama: terinspirasi sebuah puisi
Setiap kali menyendiri di dermaga ini bayanganmu kembali muncul. Terbayang wajahmu kala itu, saat membacakan “Senja di Pelabuhan Kecil”. Kukira engkau sekedar berlatih penghayatan ketika membacakannya, di pantai ini tiga tahun silam. Setelah kepergianmu, baru kuketahui maksudmu kala itu. Kuketahui setelah Nikko bercerita kepadaku karena ia membaca buku harianmu.
Coba kurenungkan kenapa sampai tidak mengerti maksudmu kala itu. Padahal begitu banyak puisi yang telah kita diskusikan bersama. Sejauh itu kita selalu menangkap hal yang sama, hampir tidak pernah terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan sebuah puisi. Namun entah kenapa tetiba puisi yang satu ini justru aku hanya bisa terpukau, tak mampu menangkap sinyal-sinyal hatimu.
Engkau membacakannya di hadapanku, setelah sebelumnya kita berdiskusi tentang sosok Chairil Anwar di dalam puisinya itu. Engkau membacakannya penuh penghayatan, dan membuatku jadi terpukau. Engkau seorang yang berbakat sehingga aku tidak merasa heran ketika engkau mampu menaklukannya dengan sempurna. Aku tak pernah menyangka ternyata engkau tengah menyampaikan sesuatu kepadaku lewat puisi itu.
Na, maafkan aku. Aku sama sekali tak pernah menyangka telah membuatmu terluka, membuatmu merasa kecewa. Sesungguhnya engkau tidak pernah sendiri. Karena sesungguhnya kita merasakan hal yang sama. Bukankah aku berada di sampingmu saat engkau menghembuskan nafasmu yang terakhir? Kali ini biarlah aku yang membacakannya untukmu.
*****
Batam, 2016.
Sumber Inspirasi: Puisi Karya Chairil Anwar
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.