Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Teman Ahok, Memaksa PDIP Berpikir Rasional

Diperbarui: 26 Februari 2016   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena ‘teman Ahok’ adalah gerakan sekelompok masyarakat yang menginginkan Ahok bisa ikut bersaing lagi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 melalui jalur independen. Fenomena ‘teman Ahok’ adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat ketika Parpol dianggap tidak mampu mengakomodir keinginan publik guna mengikut sertakan Ahok sebagai kandidat  Gubernur DKI dalam Pilkada 2017.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial revew (23 Juli 2007) terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah soal calon independen pada Pilkada. Melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 yang mengubah undang-undang sebelumnya calon independen dibolehkan ikut Pilkada tanpa melalui jalur Parpol. Keberadaan calon independen menjadi tantangan serius bagi Parpol karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap Parpol. Kalah atau menang calon independen tidak akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Parpol.

Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (Parpol) akibat buruknya citra Parpol.  Persepsi negatif yang sulit dibuktikan namun telah menjadi isu politik yang membayang-bayangi masa depan demokrasi di Indonesia. Kehadiran calon independen ditengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Parpol memberikan dampak positif terhadap kompetisi politik dalam memperebutkan jabatan politik, dan diharapkan dapat meningkatkan pastisipasi masyarakat dalam Pilkada.

Kasus APBD DKI tahun 2014 dan 2015 yang sempat memicu keributan antara Ahok dan DPRD DKI serta perseteruan Ahok vs Lulung, Ahok vs Gerindra membuka mata ‘teman Ahok’. Mereka melihat berbagai ketidakadilan yang diterima Ahok sebagai bagian dari strategi beberapa Parpol yang ingin menundukan dan menyingkirkan Ahok dari kompetisi politik di Pilkada DKI 2017.

Fenomena ‘teman Ahok’ secara telak telah menampar wajah Parpol yang mendudukan wakilnya di DPRD DKI Jakarta. Sekiranya Ahok jadi maju ke Pilgub DKI tahun 2017 melalui jalur independen, menang atau kalah Ahok nantinya tidak akan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Parpol.

Partai Nasdem dan PDIP sepertnya telah membaca hal ini. PDIP sebagai partai yang memiliki 28% kursi di DPRD DKI Jakarta merupakan satu-satunya partai yang boleh mengusung sendiri pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Hitung-hitung politik PDIP untuk kepentingan jangka pendek (Pilkada 2017) dan jangka panjang (untuk Pileg dan Pilpres tahun 2019) memaksa mereka harus berpikir rasional. Fenomena ‘teman Ahok’ berhasil memaksa PDIP harus mengakomodir Ahok di Pilkada DKI 2017 guna kepentingan yang lebih besar.

PDIP tak ingin kehilangan taringnya di Jakarta. Meski untuk itu akan mengalami sedikit gejolak internal, mengingat Ahok bukanlah tipe pemimpin yang begitu mudah diatur-atur oleh keinginan Parpol.  Menghadirkan kandidat lain guna menandingi Ahok akan merugikan PDIP sendiri. Karena keberadaan teman-teman Ahok adalah untuk Ahok, bukan untuk kandidat yang lainnya. Partai mana yang rela melepaskan begitu saja jumlah calon pemilih yang begitu signifikan yang telah menentukan siapa yang akan dipilihnya?

Apakah ‘teman Ahok’ rela bila idolanya maju melalui jalur Parpol? Mau tidak mau harus rela. Karena masalah jalur independen bukan cuma soal kepercayaan, tetapi juga menyangkut biaya kampanye, dan efektivitas pemerintahan.  Jika calon independen terpilih maka harus bisa mengatur keseimbangan kekuasaan dengan lembaga legislatif. Menjalankan pemerintahan tanpa dukungan politik di lembaga legislatif akan sangat menyulitkan bagi seorang kepala daerah.

Keberadaan calon independen seharusnya memperhitungkan juga faktor relasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, sistem pemerintahan daerah, dan sistem kepartaian.  Proses keberlangsungan pemerintahan tetap tidak dapat dilepaskan dari kepentingan partai politik. Namun kepentingan seperti apa yang pantas diterima atau ditolak tergantung dari kualitas diri si pemimpin. Sosok Ahok yang pernah merasa tidak cocok dengan Golkar dan Gerindra, apakah dia akan melabuhkan hatinya ke PDIP? Faktor kedekatannya dengan Presiden Jokowi mungkin akan membuatnya betah di PDIP.

 

[caption caption="Sumber Ilustrasi - baranews.co"][/caption]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline