Lihat ke Halaman Asli

Produsen Garam Nasional, Hidup Segan Mati Tak Mau

Diperbarui: 12 Februari 2016   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Garam sebagai komoditas pesisir di 11 wilayah sentra produksi garam Indonesia proses produksinya sebagaian besar masih bersifat tradisional.  Karena itu semua stake holder pergaraman nasional, baik itu produsen (petani garam dan pabrik garam), distributor, dan konsumen sangat terkait erat dengan kebijakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah berupaya memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Namun pada sisi lain ada kebijakan impor yang nyata-nyata mempengaruhi semangat produksi nasional dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara pelaku produksi nasional dengan para importir yang menguasai jaringan distribusi dan mengendalikan harga.

Garam merupakan komoditi strategis nasional ditinjau dari segi manfaat, produksi ,dan pasarnya di Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut seluas 3.357.483 Km persegi dengan jumlah penduduk hampir mencapai 252 juta jiwa (KPU) Indonesia memiliki potensi besar untuk produksi garam dan juga potensi besar untuk pasar garam. Ada 11 wilayah sentra produksi garam di Indonesia, sebagian besar berada di Jawa dan Madura, Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), Kupang (NTT). Kemampuan produksi garam nasional dari 11 wilayah sentra produksi garam ini mencapai 3,1 juta ton (tahun 2015).  Sedangkan kebutuhan garam nasional tercatat sebesar 3,4 juta ton.

Ada defisit sekitar 300 ribu ton dan kekurangan ini diatasi dengan impor. “Tapi kenyataannya, impor garam kita mencapai 2,1 sampai 2,2 juta ton,”  ungkap Dirut PT. Garam (Persero) Achmad Budiono, dalam acara The Marine and Fisheries Business and Investment Forum di Jakarta, Kamis (11/02/2016).  Kenapa angka impor sedemikian besar tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap produsen garam nasional?

Kualitas produksi garam nasional yang rendah dituding sebagai penyebab utamanya, disamping ketiadaan pabrik pengolahan garam untuk meningkatkan kualitas produksi garam di Indonesia. Petani garam di Indonesia dianggap belum mampu memproduksi garam industri dengan kandungan NaCl96, magnesium dan kadar air yang rendah serta berwarna putih terang. Garam jenis ini dikatakan dibutuhkan untuk industri kimia namun nyatanya bisa dikonsumsi untuk rumah tangga.

Kebutuhan industri kimia untuk garam jenis ini hanya sekitar 1,1 juta ton.  Lalu yang 1 juta ton sisanya dilarikan ke mana? Beredar di masyarakat! Kelemahan lama yang sepertinya sengaja dipelihara ini menjadi ajang permainan para importir garam di Indonesia. Seperti halnya nasib komoditi pertanian lainnya, impor terjadi saat dekat-dekat jatuh tempo produksi atau musim panen. Akibatnya harga jual garam produksi nasional menjadi jatuh dan petani mengalami kerugian.

Problematika garam nasional mencakup 3 hal, yaitu: produksi, distribusi, dan harga. Produksi garam nasional sangat bergantung pada iklim, teknologi yang digunakan sangat tergantung faktor cuaca, dan bersifat padat karya. Sebagian besar  produsen garam di Indonesia adalah petani garam yang secara sosial ekonomi tergolong lemah. Keterbatasan modal kerja ini membuat produsen berada di posisi lemah dan tidak punya kemampuan bersaing dengan importir yang berkemampuan menguasai jaringan distribusi dan mengendalikan harga.

Kebijakan impor, disamping dipengaruhi oleh kualitas produksi garam nasional juga dipengaruhi oleh faktor kontinuitas produksi yang mempengaruhi ketersedian garam di pasar. Kebutuhan industri tidak bisa ditunda, dan ketika musim mempengaruhi produksi lokal maka solusinya adalah impor. Pada saat produksi berlimpah (over supply) produsen lokal dihadapkan pada posisi yang lemah. Pada saat produksi terganggu, fluktuasi harga tidak pernah berpihak pada petani garam lokal.  Belum lagi persoalan permintaan yang sifatnya tersebar dan tidak merata. Tata niaga garam nasional masih harus lebih disempurnakan. Pembiaran terhadap hal ini sama saja artinya menciptakan ketergantungan pada impor, dan jargon-jargon membangun ketahanan pangan nasional sama sekali tidak ada artinya.

Harus ada sinergi antar lembaga pemerintah sendiri. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, serta Pemerintah Daerah di 11 wilayah sentra produksi garam nasional. Sinergi ini merupakan solusi jangka panjang atas ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan garam nasional baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk kebutuhan industri.

*****

Sumber Ilustrasi

[caption caption="Sumber Ilustrasi: https://assets.kompas.com/data/photo/2015/08/25/1458160Bangkala-20150822-00114780x390.jpg"][/caption]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline