Esok Senin (7/12/2015) rencanya Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD) akan memanggil tersangka pelaku pelanggaran etika anggota DPR RI yakni, Setya Novanto. Berandai-andai, andaikan aku menjadi anggota MKD dari Fraksi Partai Golput maka di dalam benakku telah kusiap sejumlah pertanyaan. Kubayangkan terjadi dialog sebagai berikut: (A=aku. SN=Setya Novanto)
A= Saudara Novanto, apa betul saudara menelikung pemerintah mencarikan jalan pintas agar perpanjangan kontrak karya Freeport dapat kepastian sebelum tahun 2019?
SN= Tidak Yang Mulia. Saya sangat menghormati pemerintah, Luhut Panjaitan. Karena dialah the real president
A= Saudara Novanto, saudara ketua Lembaga Tinggi negara, saudara seharusnya menghormati lembaga Kepresidenan. Presiden RI sekarang bukan Luhut Panjaitan, melainkan Jokowi
SN= Tetapi Yang Mulia, bukankah Jokowi telah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Kepala Staf Kepresidenan yang saat itu dijabat oleh saudara Luhut Binsar Panjaitan?
A= Karena sebab itu saudara Riza Chalid mengatakan “Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut janganlah ambil 20%, ambillah 11% dan kasihlah Pak JK 9%?
SN= Benar Yang Mulia. Maksudnya agar jangan sampai Pak Luhut dan Pak Jokowi makan sendiri
A=Jadi saudara Ketua DPR RI mengakui adanya pertemuanm tersebut?
SN= Mengakui Yang Mulia. Saya dihubungi Pak Luhut dan Pak Marzuki agar ikut bantu menyelesaikan masalah perpanjangan kontrak Freeport
A= Ada bukti bahwa dihubungi oleh Pak Luhut dan Pak Marzuki?
SN= Tidak ada telepon atau SMS, hanya pesan secara lisan