Kasus Papa minta saham di Makhamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa saja berakhir dengan pemakzulan Setya Novanto (SN) dari kursi Ketua DPR RI, lalu proses pidananya berlanjut ke Kejaksaan, atau mungkin ke KPK. Kasus yang menjerat SN ini bagaikan puncak gunung es tentang perilaku negatif Anggota DPR RI selama ini. Kewenangan Legislasi, Penganggaran, dan Pengawasan yang dimiliki DPR RI sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kerap menjadi ajang mencari duit secara berjamaah bagi oknum anggota DPR. Korupsi berjamah: mengumpulkan duit dengan cara memeras BUMN untuk disumbangkan ke partainya, mengembalikan investasi pribadi semasa Pemilu Legislatif, menggarap dan mengijonkan proyek lalu hasilnya dibagi-bagi lintas partai, dst. Pernah kita dengar kasus Miranda Gultom bagi-bagi Travel Check, telah kita dengar kasus Hambalang, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang telah terungkap, yang otak atau para pelakunya ada di dalam gedung DPR RI.
Kasus Papa minta saham ini tergolong luar biasa dibandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Secara terang benderang otak pelakunya di Gedung DPR RI adalah Setya Novanto, Ketua DPR RI. Andaikan kasus ini tidak keburu bocor ke publik dapat dibayangkan bahwa negoisasi perpanjangan kontrak Freeport akan berjalan mulus dengan dikeluarkannya revisi Undang-Undang Minerba sehingga kontrak baru dapat ditandatangani sebelum tahun 2019. Namun untuk mendapatkan jalan itu bukanlah suatu hal yang mudah bagi Freeport, sudah pasti Freeport harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mempengaruhi DPR RI agar mau melakukan revisi Undang-Undang Minerba yang terasa menghambat hajat Freeport.
Kasus ini tergolong luar biasa, disamping melibatkan Ketua DPR RI, kasus ini menyingkap sebagian movitasi tindakan Koalisi Merah Putih (KMP) yang bersikeras menguasai lembaga legislatif. Mereka telah membaca bahwa medan pertempuran selanjutnya akan terjadi di ranah kewenangan DPR RI. Salah satu target mereka adalah revisi Undang-Undang Minerba yang berkaitan dengan Freeport, NewMont, dan beberapa perusahaan multi nasional lainnya, merupakan lahan basah yang tidak boleh jatuh ke lawan politiknya. Berunding, duduk bersama, membicarakan segala sesuatunya berlandaskan kepentingan bangsa dan negara. Di sela-sela perundingan itu kepentingan bisnis individu atau kelompok ikut bermain, bahkan menjadi salah satu poin penentu bisa atau tidaknya revisi dilakukan sesuai dengan yang diharapkan investor asing tersebut.
Terbentur pada sikap tegas Presiden Jokowi yang menginginkan Freeport agar menunjukkan komitmennya terlebih dahulu baru berbicara tentang perpanjangan kontrak sebelum 2019. Ketidak-sabaran dan ketamakkan diri Setya Novanto dan orang-orang di belakangnya serta sikap khawair berlebihan yang ditunjukkan oleh Freeport, membuat langkah-langkah perundingan yang telah dipersiapkan sejak Era Presiden SBY itu menjadi berantakan. Lobi-lobi gelap, pencatutan nama Presiden dan Wakil presiden, pemerasan atau meminta saham dan peluang bisnis, dan permufatan jahat, serta sikap menelikung kewenangan Presiden Jokowi yang terjadi dibalik langkah gerilya Setya Novanto dan orang-orang di belakangnya jadi terkuak ke publik lewat sebuah rekaman pembicaraan.
Uniknya pembicaraan itu direkam oleh sendiri oleh Presdir PT. Freeport Indonesia Maroef Syamsoeddin. Sebagai orang yang berlatar belakang militer dan matang dalam intelijen, Maroef pasti membaca atmosfer poltik di Indonesia. Maroef pun pasti mengetahui rekam jejak Setya Novanto dan rekannya Riza Chalid. Kecerdasan Maroef membimbingnya melakukan langkah-langkah proteksi diri dan merekam pembicaraan itu, lalu melaporkannya kepada Menteri ESDM Sudirman Said.
Media dan publik di Indonesia mendapat kakap besar dari tersebarnya rekaman pembicaraan tersebut. Terjangan badai besar menimpa Setya Novanto dan Riza Chalid. MKD diminta mengadili pelanggaran etika Setya Novanto dan diminta agar melakukan sidangnya secara terbuka. Entah seperti apa bunyi keputusan MKD nantinya. Namun hal yang pasti terjadi adalah atmosfir politik semakin panas, perang media berita semakin ramai, silang pendapat semakin terang dan terbuka, dan secara perlahan akan tersingkap siapa tangan-tangan setan yang bermain dibalik berbagai kegaduhan yang terjadi sejak Pileg dan Pilpres 2014 yang lalu.
Secara global kita melihat secara jelas bahwa perang yang terjadi di Timur tengah dan Afrika Utara adalah ulah negara-negara Barat plus Amerika Serikat dalam rangka menjarah sumber daya alam yang dimiliki negara-negara berkembang. Sementara situasi politik dalam negri Indonesia tetap di atmosfir yang panas, penuh intrik, dan tercium seperti ada kekuatan besar yang secara tersembunyi tengah melemahkan pengaruh Jakarta atas bumi Papua. Politikus tamak dan yang tidak peduli dengan keutuhan NKRI, tengah bermain di dalam situasi yang kurang menguntungkan bagi Indonesia, tidak peduli dengan kepentingan bangsa dan negaranya asalkan kepentingan syahwatnya dapat terpenuhi. Masih kah kita bisa berharap kepada para politisi dan partai-partai yang lebih berat memikirkan isi perutnya sendiri? Di Gedung DPR RI yang megah itu, susah untuk dibedakan siapa yang pengkhianat dan siapa yang negarawan sejati. Saatnya kita berpikir untuk membatasi kewenangan DPR RI melalui mekanisme yang seharusnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H