Perjalananku sampai ke suatu negri yang namanya “Republik Kata-kata”, sebuah negri yang besar, di mana ada salah satu propinsinya yang bernama “Propinsi Indonesia”, menjadi propinsi yang termaju di repulik itu.
Aku berkunjung ke suatu tempat yang orang-orang bilang tempat itu namanya “Kampung Kompasiana”, entah termasuk dalam wilayah kabupaten atau propinsi mana. Kampung ini bukanlah sembarang kampung. Bukanlah sebuah kampung yang terpencil di pelosok pulau atau terletak di atas pegunungan Jayawijaya yang katanya sulit untuk dijangkau manusia. Kampung ini terletak di pinggiran kota kecil yang tak bernama. Suasana di dalamnya berbeda dengan kampung-kampung pada umumnya. Jauh lebih maju dan lebih ramai ketimbang “Kampung Jakarta” yang katanya sangat terkenal di dunia dalam hal kepadatan penduduk dan kemacetannya.
Aku berjalan menelusuri sebuah jalan di kampung itu, jalanan tampak lengang dan penuh dengan pepohonan serta bunga-bunga tertata rapih di sisi-sisinya. Kulihat ada lelaki separuh baya tengah berjalan pagi sendiri. Sepertinya dia tengah berolah raga pagi, berjalan santai menelusuri jalan kampung dan menghirup hawa udaranya yang segar.
“Pak tua, akan ke mana kah arah jalan ini?” tanyaku sembari menjajari jalannya, aku berjalan agak cepat mengikuti langkahnya yang setengah berlari. “Anda siapa?”tanyanya balik, dengan mimik menyelidik. Kusimak raut wajahnya, sepertinya dia seorang wartawan, sosok manusia yang tidak pernah mau percaya begitu saja dengan apa yang didengar dan dilihatnya kecuali didukung oleh sesuatu yang sangat ia percaya.
“Saya seorang pengembara, sengaja singgah di kampung ini untuk melepaskan penat perjalanan, melepaskan kejenuhan dari rutinitas keseharian yang membosankan” jelasku kepadanya. Seperti yang kuduga, lelaki itu tidak langsung percaya dengan apa yang kukatakan. Lalu katanya: “Pengembara, betapa banyak pengembara yang telah singgah di kampung ini. Aku mengenal banyak pengembara yang sering singgah di sini, adakah engkau mengenal salah satu diantara mereka?” ujarnya dengan nada serius.
“Tidak ada, aku seumur pengembaraanku hanya berteman dengan diriku sendiri dan kuda yang setia membawaku berjalan jauh.” ujarku, sembari menatap ke arahnya, melihat reaksi di wajahnya. Lelaki itu tiba-tiba tersenyum, ujarnya:”Anda pantas menjadi tamu saya”. Jawabannya di luar perkiraanku. Lelaki separuh baya itu mengajakku singgah ke rumahnya yang ternyata terletak tidak jauh dari tempat kami berada. Nada bicaranya terdengar ramah dan kulihat sosok lain darinya yang sama sekali diluar dugaanku. Di kampung yang serba modern ini ternyata masih ada sosok yang akrab dan penuh kekeluargaan, penuh tegur sapa dan kehangatan. Suatu suasana ketimuran yang hampir punah dari muka bumi ini.
Dia banyak bertanya tentang pengalamanku selama mengembara, dan aku pun banyak mendapat cerita darinya tentang suasana dan kehidupan di kampung Kompasiana. Tak terasa tengah hari telah terlampaui, aku harus melanjutkan perjalanku menuju ke negri-negri lain. Aku pun pamit kepadanya untuk melanjutkan perjalanan.
Aku kembali melanjutkan perjalanan lewat arah yang tadi kutanyakan, ternyata jalan itu arahnya menuju ke sebuah tempat pusat perdagangan yang termaju di wilayah Republik kata-kata. Aku berjalan menuju ke arah sana.
Sambil berjalan kubayangkan suasana kehidupan kampung Kompasiana yang unik dan dinamis. Sebuah kampung yang berhadapan langsung dengan kemajuan peradaban dunia, sebuah kehidupan yang keras dan penuh dengan persaingan, beragam manusia dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam serta dengan kepentingan yang berbeda-beda, berada dan saling berinteraksi di dalam kampung ini. Aku mencatatnya dalam catatan kisah pengembaraanku menuju ke Kota Agung.
Btm2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H