"Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan semata. Dalam perjalanan, kita belajar, tumbuh, dan menemukan makna baru." - Ralph Waldo Emerson.
Hari itu menjadi awal sebuah perjalanan yang sederhana, namun mengubah cara kami memandang kehidupan. Kami, siswa SMA Kolese Kanisius, melangkah ke bus yang akan membawa kami menuju Pondok Pesantren Kebon Jambu Ciwaringin, Cirebon. Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan. Ia adalah sebuah undangan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, mengenal kehidupan yang jauh dari hiruk pikuk kota, dan memahami makna keberagaman yang sesungguhnya.
Awal Perjalanan
Pukul 08.30 pagi, roda bus mulai berputar meninggalkan Jakarta. Di luar, kesibukan jalan raya masih mengalir deras, dengan suara klakson dan mesin kendaraan yang berpadu seperti melodi tanpa harmoni. Namun di dalam bus, suasana mulai terisi dengan perasaan campur aduk. Beberapa dari kami sibuk berbincang tentang ekspektasi mereka.
"Bagaimana kehidupan santri?"
"Apakah kita akan cocok dengan mereka?"
Sementara yang lain hanya diam, terpaku menatap pemandangan kota yang perlahan tertinggal di belakang.
Ketika kami semakin mendekati Cirebon, suasana berubah. Gedung-gedung tinggi Jakarta berganti menjadi hamparan sawah hijau. Angin desa yang segar terasa seperti menghapus beban yang sebelumnya kami bawa. Jalan kecil yang berkelok membawa kami menuju Pondok Pesantren Kebon Jambu, sebuah tempat yang sederhana namun menyimpan cerita besar.
Pesantren itu berdiri kokoh dalam kesederhanaannya. Bangunan-bangunan kayu bercampur tembok terlihat rapi, diapit pohon-pohon rindang. Di halaman, santri-santri bermain dengan penuh tawa, beberapa sibuk dengan buku mereka, dan yang lain tampak berbincang santai. Ada aura kedamaian yang menyelimuti tempat ini, sesuatu yang sulit ditemukan di kota besar.
Sambutan Penuh Kehangatan
Sesampainya di pesantren, kami disambut oleh anak dari ketua pesantren. Ia bercerita panjang lebar tentang sejarah tempat ini, sambil menyediakan makanan ringan khas Cirebon. Nama pesantren "Kebon Jambu" ternyata bukan tanpa alasan. Nama ini dipilih untuk melestarikan kekayaan lokal dan mencerminkan identitas pesantren yang ingin tetap membumi, meski berada di tengah dinamika zaman modern.
Setelah mendengarkan cerita sejarah, kami disuguhi makan siang sederhana yang terasa begitu nikmat: nasi putih, ayam goreng, tahu, tempe, sambal, dan sayur asem. Rasanya, meskipun bukan hidangan mewah, ada sesuatu dalam makanan ini yang memberi kehangatan di hati kami.