Kemajuan bangsa telah menjadi visi yang dipegang Indonesia sejak kemerdekaan kita pada tahun 1945. Hal ini telah dirangkum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dirumuskan oleh pahlawan-pahlawan nasional yang mendahului kita. Visi ini mencakupi bahwa Indonesia tidak hanya ingin mencapai kemajuan, namun juga kesejahteraan dan kemakmuran segenap rakyatnya.
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," sebagaimana tertulis dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945.
Akan tetapi, misi kita dalam mewujudkan visi bangsa pastinya mengalami penyimpangan. Tidak sedikit masalah yang timbul seiring jalannya waktu di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, memiliki tantangan yang besar dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Salah satu tantangan tersebut adalah masalah urbanisasi yang meningkat dengan sangat pesat.
Faktanya Saat Ini
Ibukota kita saat ini, Jakarta, adalah kota yang tenggelam dengan kelajuan tercepat di dunia karena eksploitasi terhadap air tanah dan banyaknya bangunan-bangunan menjulang tinggi. Lalu, hal ini juga diperparah dengan pemanasan global yang terjadi sangat cepat di zaman modern ini. Jakarta juga dipenuhi dengan perumahan kumuh di semua sudut-sudut kotanya. Lalu seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara dengan angka pengangguran, korupsi, serta kriminalitas yang tinggi dibanding negara-negara lainnya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk membangun ibukota baru sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Ibukota baru Indonesia akan dibangun di wilayah Kalimantan Timur dengan total luas 180.000 hektar. Proyek pembangunan ini akan dilakukan secara bertahap dan direncanakan selesai pada tahun 2045. Pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi ibukota baru didasarkan pada pertimbangan strategis, yaitu lokasinya yang terletak di tengah-tengah Indonesia yang ditandai dengan titik nol dan dekat dengan pusat kegiatan ekonomi Indonesia. Pembangunan ibukota baru ini bertujuan untuk mencapai "Zero Emission" yang berarti kotanya dijalankan sepenuhnya oleh energi terbarukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global dan mewujudkan masa depan yang lebih cerah untuk kita semua.
Maka dari itu, kita dapat melihat berbagai dampak positif yang sangat signifikan dari pemindahan ibukota ini, mulai dari menghentikan penurunan permukaan tanah di Jakarta, membangun pemerintahan yang lebih stabil, mendukung pemerataan infrastruktur dan redistribusi nasional di Indonesia, serta mengurangi dampak pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Namun, di balik semua kelebihan yang kita harapkan terwujud dari pembangunan ibukota baru ini, ekspektasi tinggi akan ibukota baru ini menjadi kontroversial dan dipertanyakan oleh masyarakat.
Kontroversi Pembangunan Ibukota Baru
Pertama, ibukota baru ditargetkan memiliki "Zero Emission" pada tahun 2045 saat Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke-100 semenjak kemerdekaannya di 1945. Namun, hal ini menjadi pertanyaan yang sangat kontroversial dimana berdasarkan Kementerian ESDM RI (Energi dan Sumber Daya Mineral), hanya 11.5% energi nasional Indonesia merupakan energi terbarukan dan diperkirakan Indonesia hanya memanfaatkan 17% energi terbarukan sebagai energi primer nasional pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan selisih yang sangat besar dari yang diharapkan dengan kenyataan kita saat ini.
Kedua, Indonesia bukan negara pertama yang memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh, Naypyidaw, ibukota baru Myanmar, merupakan kota kosong yang tidak digunakan dan hanya berisikan bangunan baru. Kemudian, Brasilia, ibukota baru Brazil, adalah kota yang memiliki masyarakat yang sangat tersegregasi. Abuja, ibukota baru Nigeria, adalah kota yang mengalami urbanisasi yang sangat cepat tanpa perumahan yang mampu dibayar warganya sehingga menimbulkan perumahan-perumahan kumuh. Lalu, tidak bisa dilupakan, New Delhi yaitu ibukota baru India, adalah kota dengan polusi udara terparah sedunia. Maka dari itu, pemindahan ibukota ke Nusantara juga tidak dapat menjamin bahwa kita tidak akan mengalami nasib yang serupa.
Terakhir, pemindahan ibukota ke Nusantara juga tidak akan mengubah nasib Jakarta saat ini. Warga yang sudah tinggal di Jakarta diperkirakan tidak ingin pindah ke Nusantara sehingga Jakarta masih merupakan kota yang sangat padat dan menyebabkan kelajuannya tenggelam konstan. Ditambah lagi dengan masalah ekonomi yang dialami masyarakat dan tentunya juga negara setelah masa pandemi COVID-19 yang menyebabkan tidak sedikit masyarakat dihentikan dari pekerjaannya dan roda ekonomi menjadi berhenti.
Kesimpulan
Maka dari itu, secara kesimpulan, pemindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Nusantara akan membuahkan banyak sekali dampak positif yang signifikan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Namun, di sisi lain, dampak negatif yang dapat muncul menjadi salah satu hal yang harus kita perhatikan. Oleh sebab itu, hal ini sudah menjadi tanggungjawab kita untuk membawa negara ini menuju kemajuan dengan menyukseskan pemindahan ibukota ini yang akan membuahkan masa depan yang cerah dan maju, bukan malah membawa dampak negatif yang menghambat kita sebagai bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H