Lihat ke Halaman Asli

Ivan Benedicto Constatijn

Keteknikan, Literatur

Puisi | Tawa Sang Nasib

Diperbarui: 12 September 2019   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Satu dalam sejumlah,
Sehati dan serasa,
Keserasian yang tak melemah,
Kebersamaan dalam asa.

"Kawan," kata yang lain,
"Kuterima tugas dari sang guru,
Namun sekarang harus aku bermain,
Semarak pertandingan mulai menderu."

Tak ia punya nyali menolak,
Tiada rela ia terkucil,
Menghadap mata yang menyalak,
Beban itu ia ambil.

Satu kali ia terima,
Dua kali bersedia,
Tiga kali tak berpikir lama,
Seterusnya tebiasalah ia.

Waktu berlalu cepat,
Takdir menyimpang sudah,
Beda hidup beda tempat,
Sisa hati berpencar tak mudah.

Masa mulai membuka kartu,
Yang datang kumpulan sejarah.
Kadang tepat untuk membantu,
Kadang baik untuk berserah.

"Aduh, malang adamu",
Gumamnya dalam benak.
"Rasaku kau kuberi madu,
Nyata nikmatmu hanya sejenak."

Jauh dilihatnya sang kawan,
Berbuat salah lagi dan lagi,
Seakan tak kenal ajar sang guru.
Banyak pilihan baginya tertawan,
Penyesalan mengkhamiri bagai ragi,
Pada yang berkesempatan ia cemburu.

Ambilah sebuah pelajaran,
Sebelum semua kesempatan raib.
Lebih baik ditertawakan teman,
Banding ia ditertawakan nasib.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline