Dalam perjalanan merenungi kisah yang dipaparkan oleh Pak Yahya seorang seniman budaya Betawi tentang Palang Pintu, saya tidak hanya diajak ke dalam sejarah panjang dan perubahan.
Namun juga diberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam esensi dan makna dari tradisi yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Betawi.
Sejarah Palang Pintu
Tradisi Palang Pintu, yang pada awalnya disebut Sapun atau Nyapun, merupakan bukti asimilasi dan adaptasi dari sebuah ritus yang melibatkan seni, musik, bahasa, dan spiritualitas.
Palang Pintu, yang mengalami perubahan nama pada tahun 1920-an, menjadi simbol utama dalam ritus Betawi, khususnya dalam konteks pernikahan.
Dari kata Sapun atau Nyapun, yang memiliki makna mendalam dari kata kerja dan kata sifat "sopan santun", hingga menjadi Palang Pintu yang kita kenal hari ini, perjalanan sejarah ini mencerminkan bagaimana sebuah tradisi dapat terus berkembang dan mengganti identitasnya seiring berjalannya waktu.
Dalam dekade pertama dan kedua abad ke-20, istilah Palang Pintu mulai populer, terutama karena masyarakat Betawi mulai melihat banyak palang-palang pintu di rumah-rumah mereka.
Penting untuk diingat bahwa Palang Pintu bukan sekadar nama atau simbol, melainkan perwujudan dari serangkaian tindakan dan elemen ritual yang membentuk identitas Betawi.
Palang Pintu, dalam upacara pernikahan, tidak hanya melibatkan seni silat, tetapi juga menghadirkan baca sikeh, yaitu pembacaan syair-syair pujian dalam bahasa Arab.
Syair-syair ini bukan sembarang kata-kata, melainkan ungkapan kecintaan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.