Di balik dinginnya Ayah
Mungkin bagi sebagian besar dari kita, fenomena ayah dan anak laki-laki yang tidak dekat bukanlah hal yang asing.
Dalam banyak keluarga, terutama di kebudayaan timur termasuk Indonesia, dinamika hubungan antara ayah dengan anak laki-lakinya sering kali kompleks dan sarat dengan emosi yang terpendam.
Saya sendiri telah merasakannya. Bagi saya, kisah ini lebih dari sekadar anekdot dalam album kenangan keluarga, melainkan refleksi dari tantangan dan perjuangan dalam mencari makna cinta yang sesungguhnya.
Dalam bayang-bayang masa kecil, sosok ayah terlihat seperti gunung yang kokoh namun sulit untuk didaki. Baginya, pendidikan dan disiplin adalah segalanya.
Dari kecil, dia mengajari saya untuk berdiri tegak, bicara dengan jelas, dan memegang komitmen dengan tegas. Bagi dia, pendidikan bukan hanya soal nilai di rapor, melainkan pembentukan karakter.
Namun, di balik ketegasannya, ada jarak yang tak terukur antara kami. Saat teman-teman sebaya bercerita tentang kebersamaan mereka bersama ayahnya, memancing, bermain bola, atau sekadar jalan-jalan sore.
Saya hanya bisa diam, membiarkan benak saya terbang mengenang saat-saat saya berusaha mendekati ayah, namun selalu terbentur oleh tembok emosional yang nampaknya dibangunnya dengan sengaja.
Seiring berjalannya waktu, ketika saya mulai memasuki masa remaja, perang dingin di antara kami semakin terasa. Setiap percakapan kami cenderung singkat, kaku, dan penuh dengan kata-kata formal.
Pertemuan mata kami sering terasa berat, seakan ada beban tak terucap yang menggelayut di antara kami. Saya mulai berpikir, mungkin inilah yang dinamakan "cinta dalam diam."
Namun, di balik kesunyian tersebut, saya tahu ada kepedulian. Ayah selalu memastikan saya mendapat yang terbaik.