Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Kemiskinan: Rajin Pangkal Kaya, Malas Pangkal Miskin?

Diperbarui: 14 Desember 2017   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Rumah Penduduk Lokal di Pinggiran Kota, Kepulauan Riau, Sumber : Koleksi Pribadi

Ada stigma umum yang mengatakan bahwa orang menjadi miskin karena malas. Bahkan seorang rekan mahasiswa mengamini hal tersebut. Ia berpendapat bahwa orang miskin disebabkan oleh kemalasannya dalam bekerja, dalam mencari pekerjaan, dan mencari alternatif penghasilan. Sebaliknya, stigma umum juga mengatakan bahwa orang rajin tentu akan kaya. 

Miskin dan kaya adalah masalah mentalitas. Mentalitas orang miskin akan mengkritik kesenjangan sosial dan minimnya kesempatan, sementara mentalitas orang kaya akan berjuang.

Pertama -- tama saya harus menyatakan bahwa saya sangat menentang pemikiran tersebut. Pemikiran yang sangat minim pengetahuan lapangan tentang luka duka kemiskinan. Saya sangat yakin bahwa orang dengan pemikiran tersebut, tidak pernah melakukan kontemplasi dan studi terhadap kenyataan kemiskinan secara indepth. Bahayanya lagi, jika stigma umum ini berkembang dan tidak dibantah, maka akan mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang -- orang miskin.

Kenyataan di Lapangan

Seorang bapak di Surabaya, harus bekerja menarik becak dari pagi hingga sore. Malamnya, ia beralih profesi sebagai pemulung, menggunakan becaknya sebagai gerobak. Seorang kakek berusia 70 tahun, bekerja sebagai pemungut kembang, sambil memulung di malam hari, serta membuka servis jam, sementara istrinya memanfaatkan rumah reot mereka sebagai warung makan. 

Orang -- orang ini bekerja dengan jam kerja yang tinggi, namun dengan penghasilan yang cukup untuk sekedar menyambung hidupnya, kadang kurang untuk keluarga dan anak -- anak. Orang -- orang ini tidak paham dengan konsep ketimpangan, GINI index, atau segala macam tetek bengek tentang kritik mengkritik kebijakan dan ketidakadilan sosial. Perjuangan hidup mereka tidak kalah keras dengan perjuangan seorang eksekutif dalam mencapai posisi CEO di perusahaan multinasional.

Orang miskin tidak malas. Mereka giat, tekun, serta konsisten. Mereka mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki untuk mencari alterntif penghasilan, terutama pada sektor informal. Sementara sektor formal tidak dapat mempekerjakan mereka, karena skilldan latarbelakang pendidikan menjadi kendala. Jika sehari saja mereka bermalas -- malasan, tentu fatal bagi hidupnya.

Fenomena ini adalah permasalahan yang pelik. Sebuah ketidakadilan, ketika sama besarnya tenaga dan usaha yang dikeluarkan si miskin dan si kaya, namun hasilnya jauh berbeda. Parahnya, di negara ini, hal ini terjadi secara besar -- besaran. Pada Tahun 2014, 36.4%  penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan internasional $ 3.10 per hari. 

Angka ini cenderung membaik dibandingkan 5 tahun sebelumnya, yaitu 52.7% . Mengejutkan bahwa pada tahun 2009, setengah penduduk Indonesia tergolong miskin menurut standar dunia. Walaupun ada tren yang membaik, pemerintah sendiri menyadarai bahwa terjadi peningkatan disparitas kekayaan yang semakin tajam secara regional antar desa dan kota, maupun secara kolektif. Gini index Indonesia meningkat dari 0.32 tahun 1999, menjadi 0.41 tahun 2012.

Salah Satu Sebab, Menurut Pendapat Ahli

Lantas, jika bukan sebab mentalitas, kemalasan, atau faktor individual? Apa sebab munculnya kemiskinan? Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku berjudul Why Nations Fail, menjabarkan secara tuntas alasan yang menyebabkan negara gagal mensejahterakan rakyatnya. Ia memberikan perbandingan secara kolektif antara negara -- negara yang sejahtera, dengan negara -- negara prasejahtera. Permasalahannya bukan dari faktor geografis, kultur budaya, namun peran penguasa dalam memberikan kebijakan yang inklusif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline