Lihat ke Halaman Asli

Rasisme Masyarakat Brasil di Piala Dunia 2014

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Say no to racism

[caption id="" align="alignleft" width="1280" caption="Say no to racism"][/caption] “ Katakan tidak kepada rasisme”. Walaupun semboyan itu terus didengungkan dalam perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil, namun sangat disayangkan aksi rasisme masih saja muncul dalam berbagai aksinya. Beberapa aksi rasisme yang patut disayangkan dari Piala Dunia 2014 Brasil antara lain:

Pertama: “Dilma, vai toma no cu” . Ini adalah teriakan ejekan atau fitnahan yang dilontarkan oleh masyarakat Brasil yang menolak Piala Dunia 2014 kepada presiden mereka. Dalam acara pembukaan Piala Dunia 2014 lalu, Presiden Dilma Rousseff tidak berpidato karena takut menjadi ajang ejekan atau fitnahan seperti yang dialaminya ketika beliau membuka Piala Konfederasi lalu. Dalam acara pembukaan Piala Dunia 2014, teriakan fitnahan dan ejekan tersebut bermula di area VIP stadion, di mana harga karcis VIP dijual seharga R$ 990 (atau kurang lebih US$ 440). Padahal diprediksikan bahwa masyarakat Brasil dipastikan tidak banyak di wilayah ini karena harga tiket yang mahal. Tetapi fitnahan justru datang dari wilayah VIP ini. Surat kabar Brasil menyatakan bahwa beberapa orang Brasil yang berada di VIP ini tidak setuju dengan arah politik yang dibuat oleh Dilma Rousseff. Namun mereka menyayangkan kenapa fitnahan itu dilontarkan di sini. Sebaiknya jika mereka tidak menghendaki Presiden Dilma sebagai pemimpin Brasil, tanggal 5 Oktober 2014 nanti adalah tanggal yang pasti dan tepat untuk melengserkan Dilma.

Presiden Dilma Rousseff dipilih secara demokratis oleh 55.752.529 suara, yang berarti 56% dari total suara dalam pemilihan tahap kedua tahun 2010 lalu. Banyak kalangan internasional menyayangkan fitnahan dan ejekan kepada Dilma. Seharusnya masyarakat Brasil juga mengingat perjuangan Dilma yang melawan kediktatoran, yang ditahan, dipenjara dan disiksa. Sebagai seorang presiden Brasil sudah selayaknya dia dihormati karena pilihan rakyat dan sejarah hidup yang dialaminya.  Walaupun dihina dan difitnah, Dilma dengan tegas menyatakan bahwa semua fitnahan dan ejekan yang dilontarkan kepadanya tidak akan membuatnya lemah.

Kedua: “Tinha que ser preto”. Ejekan dan fitnahan ini diarahkan kepada Marcelo yang membuat gol bunuh diri. Gol bunuh diri ini sekaligus gol pembuka Piala Dunia 2014. Gol bunuh diri dalam permainan bola kaki adalah sesuatu yang wajar. Wajar karena memang ini kesalahan yang tidak disengaja. Namun reaksi masyarakat Brasil mengekspresikan kekesalan mereka dalam berbagai media (khususnya twitter atau fb) dengan menyatakan “tinha que ser preto” (yang kurang lebih berarti “itu terjadi karena dia hitam”). Frase ini sangat terkenal di Brasil dan merupakan sebuah frase rasisme yang seharusnya sudah dilupakan. Frase ini sangat tidak adil bagi 51% masyarakat Brasil yang berwarna kulit hitam/gelap. Mengapat mereka tidak mengatakan hal yang sama ketika Neymar mencetak gol untuk kemenangan Brasil karena Neymar juga berkulit hitam/gelap.

Ketiga: Teriakan yang diarahkan ke Diego Costa sebagai pengkianat. Diego Costa yang menaturalisasikan dirinya menjadi warga negara Spanyol dari warga negara Brasil dianggap sebagai pengkianat terhadap sepak bola Brasil. Dalam pertandingan Belanda melawan Spanyol, Diego Costa selalu mendapat teriakan masyarakat Brasil saat dia berada dengan bola. Namun harus diingat bahwa bukan hanya Diego Costa saja dari Brasil yang merupakan pemain naturalisasi dalam Piala Dunia 2014 ini. Eduardo da Silva dan Jorge Sammir Cruz Campos di Kroasia, Pepe di Portugal, Thiago Motta di Italia dan masih banyak yang lainnya. Namun pemain-pemain tersebut tidak mendapat ejekan atau fitnahan rasisme dari masyarakat Brasil.

Ketiga hal di atas mau menunjukkan bahwa mau menunjukkan bahwa masih ada sikap rasisme kepada sesama dalam sebuah kompetisi di mana tujuan utamanya juga adalah bersahabat dengan sesama. Kalangan internasional sangat mengharapkan supaya Brasil lebih profesional dalam melihat sepak bola sebagai sebuah pertandingan dan bukan ajang politik rasisme. Semoga ketiga hal tersebut menjadi aksi rasisme yang terakhir di Brasil.

Tulisan saya ini bisa ditemukan juga di beritaamerikalatin@blogspot.com

Benny Kalakoe

23 Juni 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline