Sungguh ini negeri yang tidak kurang banyak orang cerdas berpendidikan tinggi, tapi wacana dan kebijakan yang diambil sebagai pejabat publik lebih banyak melukai hati rakyat daripada membawa harapan baru yang sungguh sungguh berpihak kepada keadilan rakyat.
Kita masih dicengangkan dengan kisruh Cakapolri yang dilematis, berujung pada krisis kepercayaan terhadap Jokowi Presiden terpilih yang mengemban banyak harapan untuk membawa perubahan; apakah beliau sungguh sungguh berada di pihak rakyat yang mendambakan Indonesia bersih bebas korupsi?. Waktu akan menjawab pertanyaan ini dengan melihat keputusan keputusan beliau yang akan diambil selama menjabat. Saya masih memiliki secercah harapan, mudah mudahan memang saya tidak salah memilih Presiden!.
Setelah ribut ribut BG vs KPK, muncul episode baru lawakan tak lucu yang dipertontonkan DPRD DKI Jakarta dengan tema "anggaran siluman" pengadaan UPS bernilai menakjubkan, bikin nenek nenek termehek mehek.
Sementara publik masih menantikan akhir duel Ahok "sang pendekar anti siluman" melawan DPRD dengan jurus angket, sudah mendengung wacana baru dari Menhuk HAM Yasonna Laoly tentang pemberian remisi bagi koruptor.
Tanpa menelisik lebih jauh, dan harus bersusah payah mendalami Undang Undang yang berkaitan dengan pemberian remisi, saya sudah bisa memastikan bahwa pak Mentri pasti punya legalitas untuk memuluskan wacana ini. Kalaupun ditanya kepada sepuluh ahli hukum, kita pasti akan mendengar sebelas argumen (ada yang pagi - sore memiliki pendapat berbeda, tergantung situasi).
Yang mengherankan bagi masyarakat adalah dimana kepekaan para pejabat publik sekelas mentri seperti Laoly ini?. Dilain pihak hukuman mati bagi para pengedar narkoba kelihatan begitu gigih untuk dilaksanakan karena dianggap sebagai kejahatan luar biasa (saya sependapat dalam hal ini), tapi sepertinya melupakan kejahatan luar biasa lainnya yang memiskinkan negara dan menyengsarakan rakyat kecil yaitu Korupsi!.
Pak Laoly, apa tidak ada wacana lain yang lebih urgent untuk anda lakukan seperti memperketat peraturan di dalam penjara bagi pelaku korupsi?. Sudah berulang kali publik melihat lewat media yang mempertunjukkan bagaimana enaknya kehidupan koruptor di dalam penjara lengkap dengan fasilitas mewah bak hotel berbintang. Lebih gila lagi kenyataan miris bahwa banyak peredaran narkoba justru dikenadalikan dibalik jeruji.
Laoly tentu tidak bisa menafikan bahwa ini semua bisa terjadi karena kurang ketatnya pengawasan dan aturan yang ditetapkan. Atau mungkin kurang besar gaji yang diberikan kepada para sipir penjara sehingga mereka mudah tergoda dengan "angpao" tahanan koruptor atau bandar narkoba dan akhirnya melonggarkan pengawasan.
Kalau memang Laoly berada dipihak rakyat, dan Jokowi sungguh sungguh ingin memberantas korupsi, bukankah wacana yang lebih penting untuk diterapkan adalah memperberat hukuman bagi koruptor agar ada efek jera. Kok malah sibuk mengurusi wacana pemberian remisi?. Apakah pemberian remisi memang "wajib" dilakukan?.
Bagaimana kalau memang harus ada remisi, maka untuk koruptor diberi remisi satu hari saja dan bukannya tiga bulan atau enam bulan seperti terpidana lainnya, mengingat kejahatan korupsi adalah jenis kejahatan luar biasa yang harus diperlakukan khusus?.
Mentri hukum dan hak asasi manusia, apakah bapak perlu diingatkan bahwa tidak melanggar hukum bukan berarti berkeadilan sosial dan tidak menyakiti hati rakyat. Ini contohnya seperti seorang saudagar kaya yang membangun rumah mewah dengan fasilitas lengkap dan garasi yang menampung mobil mewahnya berderet deret ditengah tengah lingkungan masyarakat yang anak sekolahnya bertelanjang kaki ke sekolah dan nenek nenek tua renta mengemis depan rumah mewahnya sementara sang pemilik rumah memandang pemandangan memiriskan ini sambil bergumam...."aku sungguh beruntung, toh ini tidak melanggar hukum?".