Kebenaran tidak mengenal usia, status ekonomi dan derajat pendidikan. Catat itu baik baik!.
Sedari kecil ketiga anak, saya didik dengan mengatakan ini berulang ulang sampai mungkin otak mereka sudah di brain washed dengan baik, sehingga sekarang saya bangga melihat mereka bisa bicara untuk diri sendiri, mengemukakan pendapat mereka meski berbeda, dan bisa nyaman mengatakan tidak tanpa harus ribet dengan apa kata orang lain.
Sifat anak memang beda beda. Dari tiga anak , yang palingk njeplak mengcopy saya seribu persen adalah Reinhart anak kedua. Kakaknya Russell adalah titisan ayahnya seribu persen. Sangat sabar serta santun. Jadi ketika memprotespun orang lain hampir tidak bisa jengkel terhadap Russell. Beda sekali dengan Reinhart yang matanya selalu garang bersemangat.
Krystle merupakan kombinasi unik dari saya dan suami. Yang saya kagumi sekaligus terheran heran adalah sisi ketekunannya yang besar (bisa juga diartikan ngotot), tapi selalu berbalut sikap kalem. Beda banget dengan ibunya yang kalau sudah korslet otomatis meluap.
Karena mendidik mereka dengan mengkombinasikan Eastern-Western style, saya kerap dianggap sebagai ibu nyentrik yang keluar dari mainstream dan sering harus berhadapan dengan kepala sekolah, karena anak saya , khususnya yang nomor dua sering dalam argumentasi mengatakan.."because my Mum said so, and maybe you need to talk to her..."
Ketika dia hendak masuk SMP, ayahnya menginginkan dia untuk mendaftar di sekolah Katolik yang lain , tapi dia berkeras mengikuti seleranya sendiri. Saya ingat suami setengah kesal mengatakan, "ya sudah kalau mau ngotot, kamu urus sendiri segala macam urusan pendaftarannya."
Suami saya berpikir dengan cara itu dia mungkin akan takluk dan masuk sekolah pilihan ayahnya. Kenyataannya malah terbalik, tanpa sepengetahuan kami, dia sudah membeli formulir dan benar benar mengurus sendiri pendaftarannya sampai tuntas. Saya hanya dimintai uang untuk membayar uang masuk.
Ayahnya terkesima, saya bangga luar biasa. That's my boy!. Kecil kecil sudah mampu mendaftar sendiri, sementara anak lain harus ditemani ibu-bapak bahkan kalau perlu kakek nenek sekalian. Saya juga sedikit heran, entah apa yang diisi di kolom formulirnya, sehingga uang pendaftaran relatif sangat murah dibandingkan dulu kakaknya.
Sebulan kemudian saya menerima surat cinta dari kepala sekolah, untuk datang menghadap membicarakan urusan administrasi. Wah, mungkin ada berkas yang kelupaan, begitu pikiran saya.
Begitu bertemu suster kepala sekolahnya, sembari menyodorkan formulir pendaftran, saya ditanyakan apakah mengisi sendiri formulir tersebut ?. Melihat tulisan disitu, bisa dipastikan itu memang bukan tulisan saya, tapi tanda tangan dibawahnya adalah asli tanda tangan saya.
Rupanya anak ini meminta tanda tangan ketika saya masih mengantuk, dan menyusunnya diantara yang PR atau berkas lain, sehingga saya tidak membaca lagi dengan jelas.