Jokowi "Sang Eksekutor" Sumber Foto: Antara/Republika Online
Secara intelektual, kecerdasan Jokowi ternyata hanya berada pada kisaran rata-rata. Makanya seusai menamatkan pendidikan strata satunya di Universitas Gajah Mada dengan gelar Insinyur Kehutanan, ia memilih menekuni profesi sebagai pengrajin mebel, profesi yang masih berhubungan dengan keilmuannya tetapi pada tataran praktis.
Maha adilnya Tuhan, kecerdasan yang dianugerahkan kepada manusia tidak semata kecerdasan intelektual atau biasa disebut IQ (Intellectual Quotient). Setidaknya ada tiga kecerdasan lainnya yang bisa menjadi kekuatan bagi manusia untuk berbuat kebajikan (bagi manusia yang baik) dan berbuat kebatilan (bagi yang khilaf).
Tiga kecerdasan lainnya adalah kecerdasan emosional (Emotional Quotient), kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) dan satunya lagi yang jarang dibahas adalah kecerdasan bertindak (Adversity Quitient). Sebagaimana kecerdasan intelektual, ketiga kecerdasan lainnya juga bisa tercermin dari perilaku seseorang dengan segala implikasinya.
Kemampuan untuk membangun hubungan emosional dengan siapa saja, kemampuan berempati terhadap penderitaan orang lain, kemampuan untuk memahami kebutuhan beragam manusia yang berhubungan dengannya, dan terlihat suka berada di tengah komunitas tanpa kesan dibuat-buat adalah bentuk ekspresi dari adanya kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi.
Dari pengamatan terhadap perilaku Jokowi semenjak dari juragan mebel di Solo, menjadi walikota Solo hingga setahun menjadi Gubernur DKI dengan kegemaran blusukan-nya yang tak terbendung, dapat dipastikan Jokowi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Ini juga terdapat pada diri Mohammad Yunus yang fenomenal sebagai pendiri Bank Pedesaan “Grameen Bank” di Bangladesh, Nelson Mandella di Afrika Selatan yang memilih tidak dendam terhadap penguasa Apartheid yang telah mendzoliminya bertahun-tahun.
Kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah dalam tataran tindakan yang didorong oleh kesadaran bahwa manusia pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan, adalah bagian dari indikasi adanya kecerdasan spiritual (SQ). Soal tinggi rendahnya, tergantung pada hasil ujiannya. Kalau sudah pernah berkuasa sebagai Walikota dan kini sebagai Gubernur, dan tetap bisa menahan diri untuk tidak mengambil sesuatu melebihi dari haknya, itu bisa mengindikasikan ketinggian kecerdasan spiritual seseorang. Jokowi dapat dipastikan memiliki ini sebagaimana mantan Perdana Menteri Iran, Achmad Dinejad yang lebih memilih hidup dari gajinya sebagai dosen daripada menikmati kemewahan pendapatan sebagai Perdana Menteri karena takut tidak bisa mempertanggung-jawabkannya di akherat.
Terakhir, Jokowi ternyata memiliki keberanian bertindak dari rata-rata orang yang pernah berada di posisi dia. Ia memilih untuk memulai pengerjaan mass rapid transport, monorail dan lain-lain dengan resiko dimaki-maki oleh warga Jakarta karena menambah kemacetan untuk sementara daripada menundanya. Ia tahu bahwa proyek itu beresiko dipelintir secara politis karena dampak sampingannya selama proses pembangunan, tetapi ia tetap memilih mengeksekusinya. Ia berani berhadapan dengan preman Tanah Abang demi menjalankan misinya mengoptimalkan pemanfaatan asset Pemda di Blok G Tanah Abang dan berupaya mengurai kemacetan ibukota dengan segala cara. Mahatma Gandhi harus berjalan ratusan kilometer sambil mengajarkan rakyat India di sepanjang pesisir cara membuat garam demi untuk menjalankan apa yang dihimbaukannya sebagai gerakan Swadeshi atau berdiri di atas kaki sendiri.
Mencermati hal itu, dapat dipastikan kecerdasan bertindak (Adversity Quotient) atau biasa disingkat AQ dari Jokowi sangat superior. Dilalahnya, kecerdasan ini termasuk kecerdasan yang langka. Ibarat batu permata, batu yang satu ini banyak dicari orang. Tengoklah di sekeliling anda, banyak orang sukses yang ternyata hanya tamat Sekolah Dasar. Atau cermati berapa banyak kalangan pakar pemerintahan yang bergelar Doktor atau mungkin Professor tetapi tidak berhasil menjadi eksekutif pemerintahan sebagaimana yang didambakan rakyat. Karena mungkin mereka hanya sibuk berteori dan menerbitkan buku, sementara rakyat menunggu tindakan nyata dari pemimpinnya.
Jadi kalaupun Jokowi tidak memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, tetapi kecerdasan bertindaknya di atas rata-rata, ditopang oleh kecerdasan spiritual yang teruji dan kecerdasan emosional yang tanpa pretensi, memang bisa menjadikannya sosok idola pemimpin baru.
Andapun bisa mengamati dimana kekuatan kecerdasan anda dan mengoptimalkannya untuk tujuan kebajikan. Siapa tahu anda termasuk memiliki kecerdasan bertindak yang tinggi tapi malu mengaktualisasikannya hanya karena tidak punya gelar akademik atau sebatas strata satu seperti Jokowi. Mari berkaca pada Jokowi terutama dalam mengelola SQ, EQ dan AQ kita. (Ben)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H