Lihat ke Halaman Asli

Ben Baharuddin Nur

TERVERIFIKASI

PSK 60 Tahun Tega Layani Anak SD dan SMP

Diperbarui: 4 April 2017   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13922183401495779452

Ya Tuhan, ampuni kami. Rismaharini menangis menceritakan itu di acara Mata Najwa barusan (12/2). Mata sayapun berkaca-kaca (maaf). Najwa Shihab pun tampak berusaha menahan diri namun suaranya yang parau dan bergetar tak bisa menyembunyikan kekagetan dan kesedihan yang campur baur.

Ibarat kanker, penyakit masyarakat yang berusaha disembuhkan sang Walikota berkerudung yang akrab dipanggil Risma ini sudah sampai stadium empat. Ada penyakit kronis yang berakar dari suatu komunitas bernama Gang Dolly. Diantara ratusan PSK di kawasan itu, Risma menemukan ada pekerja seks komersil (PSK) yang tidak pernah pensiun menjalankan profesi primitif itu meski usianya sudah mencapai 60 tahun. Siapakah gerangan orang gila yang mau jadi pelanggannya?

Tangis Rismaharini meledak. Ia seperti tak sanggup menceritakan bahwa pelanggan PSK gaek itu adalah sejumlah remaja dan pelajar. Ada yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Entah karena nafsu atau sekedar ikut-ikutan, mereka layaknya orang dewasa pemburu seks menjadi pelanggan sang nenek. Bayarannya sesanggupnya, bisa seribu atau dua ribu rupiah, jelas Risma miris.

Risma tak sanggup menceritakan semuanya.”Saya tidak tega mbak,” cuma sepenggal kata itu yang terlontar dari mulutnya sebelum air matanya makin berderai. Najwa terpaksa mempercepat commercial break untuk memberi kesempatan kepada Walikota yang dicintai rakyatnya ini membenahi perasaannya.

Salah siapa dosa siapa. Gang Dolly memang pernah identik dengan kota Surabaya. Puluhan Walikota telah berganti, seakan tak ada yang sanggup atau berani mengusiknya. Mungkin tempat itu di backup oleh sejenis genderuwo, dedemit, kuntilanak atau apapun namanya. Di tempat itu anak-anak usia sekolah sudah terbiasa melihat pintu kamar di rumahnya tertutup karena salah satu keluarganya sedang “melayani” pelanggannya.

Bisa terbayangkan betapa perih hati seorang ibu seperti Rismaharini melihat generasi muda dalam lingkup amanahnya mengalami degradasi moral seperti itu. Ia menceritakan suatu peristiwa ketika ia mencoba memahami derita “anak-anaknya” di suatu sekolah.

Ia telah melakukan pendekatan psikologis kepada sejumlah siswa di suatu kelas dimana ia meminta anak-anak dari kawasan dolly dikumpulkan di situ. Dua jam berlalu, dan anak-anak itu hanya duduk dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Tak ada yang bertanya apalagi berkomentar. Namun sejurus kemudian bertumbangan karena pingsan. Seakan keluh kesah anak-anak yang tak berdosa itu tak cukup lagi untuk menjelaskan derita jiwa yang mereka alami, apalagi mereka sadar bahwa hidup mereka hari ini dan masa depan mereka tergantung pada kelangsungan profesi keluarganya yang dipandang nista oleh masyarakat.

Membubarkan Gang Dolly adalah suatu keputusan yang dilematis bagi Risma. Ada pertimbangan ekonomi, sosial, keamanan dan sebagainya yang harus dihitung dengan hati-hati. Perlawanan warga dari komunitas itu cukup keras. Ada yang tidak terang-terangan melawan tetapi menuntut macam-macam kompensasi. Belum lagi ancaman preman dan makelar PSK yang selama puluhan tahun mengandalkan hidupnya dari membekingi mucikari dan pekerja seks di tempat itu. Risma menyadari itu sampai harus berpesan kepada keluarganya agar kalau dia harus mati menjalankan tugasnya, jangan ada yang menuntut.

Gang Dolly, lokalisasi yang konon tebesar di Asia Tenggara yang luasnya meliputi 5 Rukun Warga itu, memang adalah tumpuan ekonomi sejumlah keluarga. Namun mengingat taruhan aib yang harus disandang kota Surabaya yang selalu akan digelari kota prostitusi, rasanya lebih masuk akal bila Gang Dolly ditutup.

Belum lagi bila dipertimbangkan tercemarnya kejiwaan generasi muda yang terhubung dengan lokasi itu, baik sebagai penghuni maupun pelanggan, rasanya hanya pemimpin yang tidak memiliki nurani yang akan membiarkan tempat itu tetap eksis.

Bu Risma, jangan mundur bu, teruslah maju menegakkan moral dan akal sehat warga, kalau mati adalah taruhannya, pasti syahid balasannya. Kami semua akan mendoakan ibu.

--- Ben369 --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline