Lihat ke Halaman Asli

Ben Baharuddin Nur

TERVERIFIKASI

Seluruh Jakarta Terancam Tenggelam

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391710720737345842

Badan Nasional Oceanografi dan Atmosfir (NOOA) Amerika Serikat telah gencar menyampaikan peringatan dini kepada seluruh warganya mengenai kemungkinan sejumlah kota di pantai Timur AS akan menjadi rawa bila permukaan laut benar-benar naik mencapai 0,8 hingga 2 meter pada tahun 2100. Kenaikan permukaan air laut ini terutama dipicu oleh peningkatan laju pencairan es di kawasan Barat Antartika akibat pemanasan global akibat emisi karbon (carbon emission) yang terus meningkat 20 tahun terakhir.

Bahkan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi bila tutupan es di kawasan Greenland terus mencair dengan laju pencairan seperti sekarang, maka diperkirakan peningkatan permukaan air laut akan mencapai ketinggian tujuh meter, cukup untuk menenggelamkan Los Angeles dan London, kata sebuah laporan yang dimuat di situs National Geographic yang dapat diakses melalui tautan diakhir tulisan ini.

Berapa ketinggian rata-rata daratan Jakarta dari atas permukaan air laut? Menurut situs Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kota Jakarta adalah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Bila kenyataannya daratan Jakarta demikian, maka tanpa hujanpun, hanya air pasang dari laut yang biasa disebut banjir rob, sudah bisa menyebabkan hampir seluruh daratan di Jakarta tergenang banjir.

Apa yang akan terjadi terhadap Jakarta bila air pasang bersamaan dengan musim hujan seperti yang terjadi akhir-akhir ini? Maka kemungkinan besar tak ada lagi sejengkal daratan Jakarta yang tidak tersentuh banjir. Mengerikan? Ya, tentu saja, makanya saya tidak habis pikir mengapa pihak berwenang di negara ini kurang intensif memberikan penyuluhan mengenai ancaman banjir yang nyata di depan mata.

Saya tidak bermaksud membela Jokowi yang belakangan ini sering disalahkan karena katanya banjir tahun ini lebih parah dan lebih lama dibanding tahun lalu. Harusnya pihak berwenang dan para ilmuan membantu menjelaskan secara transparan bahwa pola banjir di negeri ini memang telah mengalami perubahan dan terus akan mengalami perubahan. Hal itu diakibatkan karena banjir tidak lagi semata diakibatkan besarnya curah hujan melainkan juga oleh peningkatan permukaan air laut, meskipun saat ini hanya beberapa sentimeter, tetapi cukup signifikan mengurangi kemampuan laut untuk menerima kiriman air dari daratan terutama di musim hujan. Jadi bukan karena alam mengirimkan isyarat bahwa mereka tidak setuju Jokowi jadi Gubernur DKI atau lebih parah menyebutnya sebagai kutukan. Isu itu adalah pembodohan dan sekaligus kebodohan bagi siapapun yang menghembuskan dan mempercayainya.

Lima tahun terakhir ini, hampir semua negara yang memiliki laut tidak luput dari banjir yang mencengangkan, tidak terkecuali negara-negara di Benua Eropa, Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Korban nyawa dan harta benda sudah tak terkira, bangsa-bangsa lain di dunia sudah mengambil ancang-ancang untuk mengurangi dampak banjir tahun depan. Seharusnya kita juga belajar untuk berhenti saling menyalahkan dan mulai berpikir lebih rasional dan kooperatif untuk bersama-sama mengupayakan agar dampak banjir ke depan dapat diminimalkan.

Memindahkan penduduk dari kawasan cekungan dan rendah yang rawan seperti bantaran sungai, waduk, tepi pantai yang terbuka mutlak harus disegerakan. Waktu kita sangat singkat. Saat musim hujan 2015 tiba, tidak ada jaminan banjir akan berkurang siapapun Gubernur di Jakarta atau bahkan Presiden RI. Kita tidak berhadapan dengan fenomena mistik, kita berhadapan dengan fenomena alam yang sedang berubah dan terus berubah.

Tetapi harus diingat, bahwa upaya yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segala daya dan cara seperti menata drainase, mengeruk sungai dan waduk lebih dalam dan lebih luas, mendisiplinkan warga untuk tidak membuang sampah ke sungai serta dalam jangka panjang membangun dinding air (water wall) di pesisir Jakarta, bukan mustahil Jakarta dapat terbebas banjir, tetapi tentu tidak cukup dalam dua atau tiga tahun, apalagi menuntut tuntas dalam setahun. Kalau kota Amsterdam, Belanda, yang jelas-jelas daratannya berada di bawah permukaan laut bisa tidak tergenang, apalagi kota Jakarta yang posisi daratannya masih jauh lebih baik dibanding Amsterdam.

Bagi yang tidak percaya kalau perilaku alam terus berubah, silahkan bertanya kepada penduduk Jakarta Utara, terutama yang bermukim di kawasan yang dekat dengan pantai. Pasti mereka bisa menjelaskan seberapa sering dan seberapa jauh perubahan banjir rob melanda pemukiman mereka beberapa tahun terakhir ini. Atau bila sempat, silahkan buka arsip pemberitaan mengenai peningkatan frekuensi dan cakupan genangan banjir rob lima tahun terakhir. Itu semua adalah peringatan alam bahwa konstelasi hidrologis Jakarta telah berubah, dan, maaf, bukan kutukan.

Amerika Serikat saja yang ngotot tidak ikut meratifikasi protokol Kyoto (Kyoto Protocol), terpaksa harus ikut ambil bagian dalam upaya pengurangan emisi karbon agar bumi ini tidak menjadi semakin panas. Banjir yang melanda negeri Paman Sam sepuluh tahun terakhir memang cukup menyadarkan masyarakat dan pemerintah Amerika Serikat bahwa iklim memang telah berubah drastis secara global. Pemerintahan Obama akhirnya harus ikut berkomitmen menurunkan emisi gas buang di dalam negerinya agar banjir akibat lelehan es di kutub tidak makin menggila. Amerika Serikat berkomitmen menurunkan 7 persen gas buangnya sampai 2020, ini dipandang cukup rasional mengingat agar daya saing industri negara adidaya ini bisa tetap bertahan.

Pertemuan Puncak di Bali mengenai Perubahan Iklim Global pada Desember 2007 lalu yang dimotori Indonesia mengamanahkan semua negara untuk mengambil tindakan konkrit mengurangi emisi gas buang mereka. Negara maju diminta menurunkan 20 - 40 persen, sementara bagi negara berkembang seperti Indonesia bahkan diminta menurunkan sampai 50 persen hingga tahun 2050.

Indonesia berjanji akan mengendalikan kebakaran hutan di seluruh Indonesia seperti di Sumatera dan Kalimantan akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian. Untuk ini Pada 2009 lalu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komiten Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dari pertanian, konversi lahan dan kehutanan sebanyak 26 persen hingga tahun 2020.

Tak kalah pentingnya adalah komitmen untuk mengurangi gas buang dari kendaraan bermotor dan industri yang ternyata juga cukup signifikan kontribusinya. Penggunaan bahan bakar gas untuk armada Transjakarta merupakan langkah yang banyak diapresiasi lembaga-lembaga pemerhati lingkungan internasional karena dipandang sebagai bagian dari komitmen mengurangi emisi gas buang. Ke depan pemerintah perlu memikirkan untuk mengganti semua jenis kendaraan yang mereka gunakan dengan yang lebih ramah lingkungan.

Menggiatkan penggunaan transportasi umum yang ramah lingkungan merupakan upaya pemerintah yang harus disambut dan diapresiasi oleh warga Jakarta.Artinya, bagaimana setiap dari kita mulai berpikir agar dapat berkontribusi menekan pertambahan emisi gas buang dengan memaksimalkan penggunaan transportasi umum dalam beraktivitas.

Meski Jakarta hanyalah sebuah noktah kecil di atas kulit planet yang bernama bumi ini, tetapi bila Jakarta yang kita cintai ini benar-benar karam karena kita lalai menjaganya, dikarenakan sibuk bertengkar dan saling menyalahkan, menjadikan masalah lingkungan sebagai komoditas politik untuk saling memojokkan daripada menjadikannya sebagai peringatan untuk menggalang persatuan, maka bersiaplah menjadi generasi yang disesali oleh anak cucu kita.

http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/critical-issues-sea-level-rise/

http://www.ppejawa.com/12_dki_jakarta.html




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline