Berangkat Dari Sebuah Deklarasi
Empat puluh tujuh tahun lalu, tepatnya 8 Agustus 1967, atau setahun setelah berakhirnya konfrontasi Indonesia Malaysia yang melelahkan, lima Menteri Luar Negeri dari negara yang berada di kawasan Asia Tenggara sepakat bertemu di Bangkok. Tujuannya satu, membentuk forum dialog untuk meningkatkan saling pengertian dan integrasi diantara negara-negara yang berbatasan di Asia Tenggara. Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah pengalaman buruk yang diharapan tidak terulang lagi terutama karena menyadari pertikaian itu hanya menyita tenaga dan sumberdaya sementara kondisi ekonomi di kawasan ini masih morat marit.
Pangkal sengketa Indonesia-Malaysia sebenarnya berawal dari keinginan Malaysia untuk membentuk Federasi Malaysia yang mencakup wilayah Brunei, Sabah dan Sarawak, dimana ketiga wilayah itu berbatasan dengan Indonesia. Sebagai negara yang masih dibayang-bayangi penderitaan akibat kolonialisme, indonesia jelas tidak setuju apalagi ide tersebut ditengarai sebagai akal-akalan kerajaan Inggris Raya, salah satu anggota sekutu yang ikut menyusahkan Indonesia. Meski Malaysia bisa memaklumi kemarahan Indonesia, namun pada saat yang sama, Malaysia melihat ide itu adalah urusan dalam negeri mereka (Wikipedia, org, 1994).
Makanya, pasca konfrontasi Indonesia – Malaysia yang berlangsung dari tahun 1962 - 1966, negara-negara Asia Tenggara melihat perlunya upaya membangun kesepahaman untuk lebih saling menghargai kedaulatan masing-masing. Jadinya,pertemuan tersebut masih di bawah bayang-bayang suram konfrontasi Indonesia-Malaysia yang menyisakan iklim yang tidak sehat bagi kedua negara. Salah satu alasan pertemuan dilakukan di Bangkok antara lain sebagai wujud sikap saling menghormati sehingga Thailand yang tidak pernah memiliki sejarah terjajah oleh negara manapun, dianggap sebagai tempat yang lebih netral untuk membahas isu tersebut.
Kelima Menteri Luar Negeri tersebut adalah Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Narcisco Ramos (Filipina), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Koman (Thailand). Tidak banyak yang disepakati dalam pertemuan pertama itu selain upaya untuk lebih membangun saling pengertian dan mendinginkan suhu politik kawasan akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia setahun sebelumnya. Harapannya, bila ke depan masing-masing negara menghadapi persoalan dalam negeri tidak lagi berkembang menjadi isu kawasan yang berpotensi memicu konfrontasi dengan negara anggota lainnya.
Sejak pertemuan pertama yang melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok tersebut yang menandai kelahiran organisasi Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang beranggotakan lima negara penggagas, tidak banyak prestasi yang bisa dicatat. Tahun 1984 Brunei Darussalam diterima sebagai anggota keenam sepekan setelah memproklamirkan kemerdekaannya.
Seiring berjalannya waktu, negara-negara di Asia Tenggara makin melihat adanya kesamaan permasalahan yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, kemiskinan, kualitas sumberdaya manusia yang rendah dan kecenderungan rendahnya produktivitas di kawasan ini. Salah satu penyebab yang disepakati sebagai penyebab utama adalah lemahnya daya tarik investasi luar karena melihat negara-negara ASEAN sendiri tidak menunjukkan upaya untuk meningkatkan posisi tawarnya secara bersama-sama.
Kesimpulannya, kompetisi internal ASEAN yang tidak sehat menjadi faktor pertimbangan pelaku ekonomi global untuk tidak pernah melirik Asia Tenggara. Apalagi pada saat yang sama frustrasi rakyat di kawasan ini menunjukkan ketidakpuasan kepada sistem pemerintahan mereka yang dipandang sengaja menutup diri dari pihak luar untuk melanggengkan korupsi dan penyimpangan-penyimpangan yang menyengsarakan rakyat. Pada tahun 1986, pemerintahan Ferdinand Marcos di Filipina yang berkuasa selama 32 tahun ditumbangkan oleh gerakan people power.
Desakan rakyat ke arah keterbukaan khususnya dalam rangka perbaikan ekonomi masyarakat terjadi di berbagai tempat secara sporadis. Rakyat di berbagai negara bangkit untuk menyuarakan kepentingannya. Jerman Timur yang miskin akibat sistem politik dan ekonomi sosialis tak sanggup lagi bertahan melihat kemajuan Jerman Barat yang sistemnya lebih terbuka. Tanggal 3 Oktober 1990, Jerman Timur dan Barat menyatu setelah tembok Berlin yang berdiri kokoh selama puluhan tahun berhasil dirobohkan.
Di belahan dunia lain, tepatnya 26 Desember 1991, atau setahun setelah Jerman bersatu, Uni Soviet yang menjadi simbol kekuatan komunis di Barat yang bercokol sejak tahun 1922 harus tumbang dihajar oleh gerakan rakyat yang dikenal dengan gerakan Glasnot dan Perestroika yang dimotori tokoh kontroversial pembawa angin reformasi dan perubahan, Michael Gorbhacev.
Negara-negara Asean melihat berbagai kejadian di sekitarnya sebagai ancaman sekaligus peluang untuk memulai babak baru ASEAN yang lebih terbuka dan memperhatikan masalah ekonomi secara lebih serius. ASEAN yang pada masa itu kepemimpinnya sedang dipegang oleh Singapura menyetujui agenda pasar bebas ASEAN dibahas di dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IV yang diselenggarakan di Singapura. Akhirnya tanggal 1 Januari 1992 ASEAN Free Trade Area (AFTA) disepakati untuk diterima oleh negara-negara anggota ASEAN dan sekaligus akan mengikat anggota baru yang menyusul kemudian. AFTA disepakati untuk mulai diberlakukan pada tahun 2015 dan setiap negara yang bergabung diwajibkan untuk mempersiapkan diri.
Siapkah Indonesia Hadapi AFTA?
Terus terang, andaikata AFTA mulai diberlakukan sejak tanggal pembentukannya di tahun 1992, ada dua negara yang sangat siap, setidaknya dalam arti mendapatkan keuntungan yang besar, pertama Singapura dan kedua Indonesia. Sementara Malaysia boleh jadi juga akan siap tetapi kekuatan dan kondisinya masih jauh di bawah Indonesia.
Pemerintah Indonesia yang merasa di atas angin dengan mengalirnya modal asing masuk ke Indonesia setelah dikeluarkannya paket kebijakan deregulasi perbankan yang dikenal sebagai Paket Oktober (PAKTO), karena dikeluarkan pada 27 Oktober 1988, sebenarnya telah mengalami pemanasan yang luar biasa (over heated) pada tahun 1992.Puluhan Bank baru berdiri sebagai penghimpun modal yang seharusnya bisa diarahkan untuk melakukan investasi sektor produktif. Namun dikarenakan infrastruktur yang belum menunjang, sementara perbankan yang banyak memanfaatkan simpanan masyarakat yang mengalir deras akibat iming-iming bunga yang tinggi berusaha mengalirkan kredit dengan cepat, akhirnya terjebak ke dalam pusaran pembiayaan sektor-sektor komsumtif.
Dalam upaya untuk mengendalikan portofolio perbankan yang tidak sehat tersebut, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Februari 1991 (PAKETRI) yang memberi peluang besar bagi perbankan untuk memasuki pasar modal global, sebagaimana dikutip dari Claudia Paskah (2014) termasuk mengundang pinjaman asing untuk mendukung penguatan modal perbankan Indonesia. Kebijakan ini memicu mengalirnya pinjaman asing dengan bunga murah. George Soros memanfaatkan peluang ini untuk mendorong pemodal-pemodal asing masuk Ke Indonesia.
Singkatnya, berbagai kebijakan yang menyusul kemudian termasuk UU Perbankan No 7 tahun 1992 yang memberikan kewenangan besar kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengendalikan perbankan yang terlanjur booming tidak cukup bisa mendinginkan perekonomian yang terus memanas. Pertumbuhan memang terlihat signifikan, tetapi lebih banyak ditopang oleh pertumbuhan sektor komsumtif. Inilah yang disebut sebagai fenomena “ekonomi yang menggelembung” atau “bubble economy.”
Perbankan yang menderita akibat kredit macet yang tinggi selanjutnya dibingungkan untuk membayar utang luar negeri yang rata-rata jatuh tempo di sekitar tahun 1997. Peburuan dollar adalah fenomena kepanikan berikutnya yang memicu melemahnya rupiah. Perburuan dollar tidak berakhir bahkan ketika dollar Amerika sudah menembus ambang batas psikologis dari Rp. 2.100 tujuh bulan sebelumnya melejit di atas angka Rp. 10.000 bahkan tembus ke angka Rp. 17.000. Huru-hara ini terjadi dalam rentang waktu 1997 hingga 1999.
Gonjang-ganjing ekonomi bercampur baur dengan frustrasi politik yang masih diwarnai suasana euforia jatuhnya Ferdinand Marcos merambat ke sistem kekuasaan orde baru yang dianggap sebagai penyebab dan penanggungjawab utama semua derita yang dialami bukan saja oleh rakyat jelata tetapi sudah mendorong kelas ekonomi menengah ke tepi jurang kebangkrutan.
Seperti domino yang berjejer tumbang satu demi satu. Efek domino ini terus merambat hingga pada suatu hari, tepatnya Kamis 21 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia, H. Muhammad Soeharto yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa dan kalangan menengah yang sudah tidak bisa menerima kinerja pemerintahan yang dipandang terlalu banyak mengeluarkan kebijakan yang salah arah di bawah pengaruh lembaga asing, termasuk International Monetary Fund (IMF).
Tinggallah bangsa Indonesia yang kalangan menengahnya tersandera utang luar negeri yang berlipat-lipat nilainya dibanding sebelumnya, rakyat yang euforia dengan reformasi tapi melemah daya belinya dan perebutan kekuasaan di kalangan politisi yang merasa ikut andil di dalam menumbangkan orde baru. Politisi sibuk mencari bentuk baru sistem pemerintahan dan demokrasi yang dipandang bisa menyelamatkan Indonesia. Ekonomi Indonesia mengalami stagnasi sampai pergantian beberapa Presiden, dari Prof. B. J. Habibie ke ke KH. Abdurrahman Wahid lalu ke Megawati Soekarnoputri dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono yang sebentar lagi berakhir masa jabatannya setelah memimpin Indonesia di era reformasi sejak tahun 2004.
Selama rentang waktu itu sektor produktif Indonesia tak kunjung bangkit sepenuhnya. Bahkan Indonesia telah dikeluarkan dari Organisasi Negara-Negara Produsen Minyak (OPEC). Impor juga tak kunjung mereda, bahkan sampai prduk vital seperti beras dimana Indonesia pernah mendapatkan penghargaan PBB sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada, kini harus mengimpor. Hanya sektor perkebunan yang menunjukkan geliat melalui ekspor berbagai produk perkebenunan seperti sawit, kakao, kopra, kopi dan sebagainya, namun lagi-lagi didominasi oleh ekspor bahan baku. Tetapi implikasi yang harus kita tanggung ke depan adalah menurunnya kualitas dan luasan hutan akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan dalam rentang waktu itu.
Produksi dan ekspor hasil laut masih mengalami pasang surut dikarenakan pola pengelolaan hasil perikanan kita belum jauh beranjak dari kondisi 30 tahun lalu. Mungkin yang bisa dibanggakan adalah peningkatan volume dan kualitas infrastruktur seperti energi listrik, kepelabuhanan, bandara, termasuk jalan dan jembatan. Namun itu semua tidak banyak berarti manakala hanya menopang pertumbuhan sektor konsumtif seperti meningkatnya volume pengguna kendaraan bermotor, properti, perkantoran dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, siapkah Indonesia menghadapi pemberlakuan AFTA di tahun 2015 mendatang setelah melihat kesejarahan sosial, ekonomi, politik dan hukum Indonesia sampai detik ini?
Belajar Dari Pemberlakuan ACFTA
Andaikata urusan AFTA sebatas bagaimana menampung produk-produk dari anggota ASEAN untuk dipasarkan di Indonesia, maka Indonesia yang merupakan negara terluas diantara semua negara anggota ASEAN dengan penduduk sekitar 256 juta jiwa, lebih dari siap untuk menyambut AFTA. Kesiapan Indonesia dalam hal ini sudah dibuktikan oleh China yang telah mendahului membuka kerjasama pasar bebas dengan ASEAN pada 1 Januari 2010 lalu. ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) telah membuat pasar Indonesia hingga ke pelosok dipenuhi dengan produk dari China yang semakin murah dikarenakan sejumlah fasilitas dan kemudahan yang diperoleh China dalam kerangka ACFTA.
Banyak pihak melihat ACFTA sebagai momok mengingat China adalah negara raksasa yang memproduksi barang yang relatif berkompetisi dengan produk yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN, mulai dari produk pangan, hortikultura, produk ektronik low-tech, mesin-mesin pertanian, karoseri kendaraan seperti yang diimpor oleh Trans-Jakarta, tekstil termasuk batik China, seluruh kebutuhanperempuan dari kosmetik, obat-obatan, herbal, jamu hingga kebutuhan sandang seperti sendal, sepatu, lingeriesyang notabene juga diproduksi oleh usaha kecil dan menengah (UKM) dalam negeri.
Para penentang ACFTA sangat mudah menemukan contoh untuk menyebut kebijakan pasar bebas ASEAN dengan China sebagai kebijakan keliru dan tergesa-gesa. Asosiasi pertekstilan Indonesia sebagaimana diungkapkan di dalam penelitian Nurul Setyorini bahkan berani memastikan bahwa industri tekstil dalam negeri bisa tumbang dan pengusahanya beralih menjadi importir tekstil dikarenakan harga tekstil impor dengan kualitas yang sama jauh lebih murah dibanding produksi dalam negeri.
Indonesia harus memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan diri, kata sejumlah kalangan penentang, meski faktanya rencana kerjasama ini tidak dilakukan tiba-tiba melainkan sudah digagas sejak tahun 12 tahun lalu, tepatnya 6 November 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei,saat pertemuan kepala negara ASEAN dengan China. Kesepahaman yang tertuang di dalam dokumen Kerjasama Ekonomi Komprehensif ASEAN-China dimaksudkan sebagai upaya menciptakan sistem perdagangan yang lebih berkeadilan antara negara-negara ASEAN dengan China.
Keinginan untuk bekerjasama tersebut semakin menemukan bentuknya saat Menteri Perekonomian negara-negara ASEAN kembali bertemu di Phnom Penh, Kamboja, pada 2 November 2002 dan berhasil menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi. Indonesia meratifikasi Kerangka Kesepakatan tersebut dua tahun kemudian, tepatnya 15 Juni 2004 dan resmi menandatanganinya pada 8 Desember 2006. Beberapa pertemuan dan pembicaraan dilakukan setelah itu hingga sampai pada pemberlakuan ACFTA pada 1 Januari 2010.
Melihat kronologi pertemuan, pembicaraan dan kesepakatan diantara para pihak yang bekerjasama, kiranya dapat dipahami bahwa ACFTA bukan sesuatu yang lahir dengan tiba-tiba apalagi dipaksakan oleh pihak tertentu. Kalaupun kita merasa tidak siap, boleh jadi dikarenakan lemahnya koordinasi diantara stakeholders di dalam negeri termasuk pihak interen pemerintah dan interen swasta serta diantara keduanya.
Pemberlakuan ACFTA seharusnya tidak perlu disesali. Bahkan kita harus melihat secara lebih rasional dimana data Biro Pusat Statistik menunjukkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar US$ 1,52, selama Oktober, November dan Desember 2013 dimana termasuk dengan sesama negara ASEAN, Jepang, China Korea Selatan, Amerika, Australia dan Taiwan. Artinya ekspor Indonesia mulai menggeliat meskipun tetap mengalami defisit selama tahun 2013 sebesar US$ 4,06 milliar dikarenakan besarnya impor Indonesia untuk produk-produk khususnya pangan yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri.
Realitas tersebut memberikan optimisme perekonomian Indonesia akan kembali bangkit apalagi bila Pemilihan Umum yang akan tuntas selama 2014 ini menghasilkan anggota legislatif yang lebih bersih, berkomitmen dan berkinerja tinggi, serta Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat respon positif dari pasar ASEAN dan pasar internasional. Dengan demikian, keyakinan mengenai kebangkitan ekonomi Indonesia dapat menjadi suatu kenyataan. Pasar bebas ASEAN bukan lagi isu besar yang seharusnya merisaukan Indonesia karena kapasitas Indonesia mampu berkembang melampaui pasar ASEAN.
Pembenahan Yang Diperlukan Indonesia
Hal pertama, perlu disadari dan diyakini oleh seluruh komponen bangsa ini bahwa pasar bebas adalah suatu keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa kita hindari, pasti akan bertemu lambat atau cepat.
Hal kedua, bahwa pasar bebas tidak pernah dimaksudkan untuk menciptakan monopoli, oligopoli apalagi melemahkan perekonomian suatu kelompok atau negara, bahkan bila dihayati ini adalah dorongan untuk berkompetisi menghasilkan produk barang dan jasa yang terbaik yang tidak hanya unggul di dalam negeri melainkan juga di pasar mancanegara.
Hal ketiga, bila dalam perjalanan melakoni pasar bebas terjadi sejumlah implikasi yang tidak dikehendaki seperti perubahan struktur ekonomi dalam negeri dari sebelumnya didominasi oleh UKM yang kemudian berubah menjadi konglomerasi besar dalam upaya menyatukan kekuatan, maka itu harus diterima sebagai suatu konsekuensi logis sebagaimana pepetah lama dari bangsa Indonesia bahwa lain lubuk lain ikannya, maka berarti kita juga seharusnya menerima realitas bahwa lain sistem pasar akan lain pelakunya. Yang penting kesejahteraan rakyat meningkat dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar atas nama usaha kecil yang terus menerus kecil atau memang dikecil-kecilkan.
Strategi kunci untuk menjadi pemenang di dalam sistem pasar bebas adalah dengan mengidentifikasi dan memperkuat keunggulan kompetitif produk barang dan jasa Indonesia. Kekuatan produk barang dan jasa dalam negeri harus terus ditingkatkan untuk dapat bersaing baik di pasar domestik maupun di pasar global. Selain itu beberapa indikator daya saing sebagaimana yang dirilis setiap tahun oleh Forum Ekonomi Global penting untuk mendapat perhatian. Meski tidak dalam posisi terbawah, tetapi posisi Indonesia yang berada di peringkat ke-5 diantara 11 Anggota Tetap dan Anggota Peninjau ASEAN patut mendapatkan perhatian serius. Indeks Daya Saing Global Indonesia menurut World Economic Forum disajikan pada tabel berikut ini.
Birokrasi pemerintah harus dibenahi agar dapat memeberikan pelayanan yang efisien dan cepat kepada pelaku ekonomi sehingga birokrasi dapat tercitrakan sebagai penunjang kegiatan ekonomi yang membantu pertumbuhan bisnis dalam negeri. Selain itu, birokrasi yang sehat dan melayani secara prima dapat menarik minat pelaku bisnis dari luar termasuk kalangan investor untuk mau berinvestasi melakukan bisnis di Indonesia. Menurut Investment-Indonesia.com Indonesia berada di peringkat 120 dari 194 negara dalam hal persepsi dunia usaha global mengenai doing business di Indonesia. Peringkat yang relatif rendah ini harus dituntastan dalam program reformasi birokrasi Indonesia sehingga ketidakpastian waktu dan biaya dalam memperoleh izin dan lisensi dapat segera dibenahi. Makanya hasil dari perhelatan pemilu legislatif dan presiden di tahun 2014 ini juga akan menjadi pusat perhatian dunia yang akan memberikan respon tergantung partai politik mana yang dominan di legislatif dan siapa Presiden RI yang terpilih nantinya.
Pada saat yang sama, pengembangan birokrasi pemerintah yang memberikan pelayanan atraktif bagi pelaku usaha dalam dan luar negeri, mampu menyelesaikan sengketa dengan cara yang efisien dan berkeadilan serta berkepastian hukum, mampu melakukan pengawasan dan pengendalian persaingan yang tidak sehat, penerapan sistem perpajakan yang tidak memberatkan pelaku usaha, pembinaan perburuhan yang tidak kontraproduktif terhadap kepentingan swasta akan mengundang sentimen positif para pelaku usaha ASEAN dan bahkan internasional untuk melakukan investasi di Indonesia.
Korupsi meliputi pungutan liar, penyuapan, persekongkolan, persaingan usaha tidak sehat dan lain-lain harus diperangi habis-habisan oleh semua pihak terkait di Indonesia karena ini selain akan menciptakan ekonomi biaya tinggi yang akan membuat produk barang atau jasa tidak kompetitif, juga menyangkut kepercayaan terhadap moral bisnis yang berkembang di Indonesia.
Penyiapan sumberdaya manusia baik untuk tingkatan pekerja ahli maupun tenaga terampil siap pakai harus dipersiapkan secara bersama-sama antara lembaga pendidikan tinggi dan vokasional dengan pemerintah. Ketersediaan tenaga kerja ahli dan terampil dengan moral kerja yang baik akan menjadi salah satu keunggulan kompetitif suatu negara, apalagi bagi Indonesia yang sepanjang beberapa puluh tahun ke depan akan mendapatkan bonus demografi dari peningkatan jumlah usia produktif dibanding yang non produktif. Bonus dari segi jumlah saja tidak cukup menarik kecuali dibarengi dengan kualitas.
Sumber permodalan (financial resources) harus disehatkan dan didorong untuk menunjang sektor-sektor produktif agar dapat memperbesar kapasitas dan volume produksi yang akan menurunkan biaya produksi barang/ jasa secara signifikan yang berimplikasi pada penurunan harga jual ke tingkat yang lebih kompetitif. Kredit permodalan dan kegiatan produktif dengan bunga rendah menjadi harapan pelaku usaha dalam negeri untuk menghidupkan kembali industri-inudstri strategis yang pernah membuat Indonesia berada di atas puncak klasemen ekonomi diantara negara-negara anggota Asean. Indonesia tidak perlu melakukan banyak pencarian. Indonesia hanya perlu menemukan kembali (rediscovery) kekuatan dan keunggulannya untuk didayagunakan menyongsong era pasar bebas yang sebenarnya.
Sumber: beyondbrics
Investasi negara harus maksimal mendukung pembangun infrastrukur yang menunjang kelancaran produksi dan distribusi barang/jasa di dalam negeri dan ke luar negeri. Di sini termasuk segera menyelesaikan sejumlah pembangunan pembangkit energi yang terbengkalai, mengembangkan sumber energi yang terbarukan, pembangunan pelabuhan dan bandara udara yang representatif di seluruh pelosok Nusantara, jalan darat, jalan kereta api dan sebagainya agar setiap jengkal wilayah republik ini dapat menjadi lapangan permainan yang nyaman untuk berkembangnya pasar bebas ASEAN yang mensejahterakan rakyat Indonesia seluas-luasnya.
Bila sejumlah prasyarat di atas telah atau sedang dilakukan oleh Indonesia kita boleh optimis bahwa Indonesia berada dalam kondisi siap untuk menghadapi pemberlakuan Pasar Bebas ASEAN 2015.Kalau menurut penilaian saya, kesiapan Indonesia menghadapi AFTA berdasarkan kinerja prasyarat yang diuraikan di atas, bila dibuat skor 10 – 100, maka skor Indonesia berada pada kisaran 60-70. Kelemahan terbesar berada pada dukungan birokrasi yang kurang optimal. Kelemahan lainnya adalah dalam hal manajemen ketenagakerjaan yang memposisikan swasta selalu berada dalam ketidakpastian akibat pemogokan dan demonstrasi yang terlalu sering terjadi, selebihnya berada dalam jalur yang benar meski agak terlambat di dalam memulainya.
Namun demikian, sebagaimana dalam perjalanan kehidupan, mudah-mudahan ada tiupan angin keberuntungan atau lucky blow setelah tahun 2014. Meski anggota legislatif hanya segelintir dari bangsa Indonesia, apalagi Presiden dan wakilnya hanyalah dua orang figur, namun ketepatan di dalam memilih figur-figur tersebut akan mempengaruhi persepsi dunia dan ASEAN mengenai prospek ekonomiIndonesia sedikitnya lima tahun ke depan. Dan itu berarti juga akan berimplikasi bagi Indonesia di dalam mengarungi AFTA yang dimulai 2015 mendatang.
Baharuddin Nur (Ben) -- Pengamat kebijakan publik, pengadaan barang/jasa pemerintah dan lingkungan hidup -- Tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H