[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Alice Bertemu si kucing cheshire (Ilustrasi oleh: Feliciacano - deviantart.com)"][/caption]
Alice Yang Bingung
Alice, sosok remaja putri pemberani dalam kisah novel remaja ber-genre petualangan berjudul “Alice in The Wonderland”, belakangan diangkat ke layar lebar Hollywood, banyak memberikan pesan moral bagi siapa saja, khususnya bagi remaja.
Dalam sepenggalan kisah novel yang ditulis oleh Lewis Caroll ini, Alice digambarkan sedang kebingungan di sebuah persimpangan jalan setapak di tepi hutan. Dalam kebingungannya, Alice melihat seekor kucing sedang bermalas-malasan di atas sebuah dahan yang rendah. Kepada si kucing cheshire, begitu nama tokoh hewan berbulu yang digambarkan selalu penuh persetujuan itu, Alice meminta saran jalan mana yang sebaiknya ia tempuh.
Dengan santainya sang kucing cheshire malah balik bertanya kepada Alice. “Emang kamu mau kemana Alice?”
Balik ditanya begitu, Alice malah kelabakan menjawab, soalnya dia cuma bermaksud berjalan-jalan untuk mengetahui apa saja yang ada di negeri ajaib itu. “Sejujurnya saya gak tau mau kemana, saya cuma jalan-jalan,” jawab Alice sejujurnya.
“Oh ya?” jawab si kucing sedikit kaget. “Kalau kamu tidak tahu mau kemana, maka jalan manapun yang kamu ambil tidak ada bedanya,” jawab sang kucing yang setelah itu langsung menghilang. Ia memang tokoh unik di dalam cerita ini karena bisa muncul dan menghilang kapanpun, dan hanya bisa berbicara dengan Alice.
Jalan Manapun Tak Ada Beda
“Kalau kamu tidak tahu mau kemana, maka jalan manapun yang kamu ambil tak akan ada bedanya.” Kata sang kucing cheshire kalem.
Menjadi Alice di dunia nyata atau Alice di negeri ajaib (wonderland), tidak akan ada bedanya bila tidak jelas tujuannya dalam melakukan apa saja dalam hidup ini.
Putra saya menoleh ke saya setelah menutup laptop di pangkuannya dalam perjalanan kami pulang dari tempat kerja. “Apakah sebaiknya saya kost sementara atau gak usah ya?” Tanyanya tampak agak ragu.
Saya tahu ia bimbang memilih antara naik motor, ikut saya atau kost. Belakangan Ia sudah tidak naik motor dan memilih naik commuter line (KRL) pergi-pulang ke tempat kerja. Saya cukup mengantarnya dan menjemputnya ke stasiun terdekat dalam perjalanan saya pergi dan pulang kerja. Jadi pilihannya tingga dua.
“Emang tujuannya apa berpikir mau ngekost?” Tanya saya mencoba menelaah kebimbangannya.
“Bulan ini saya banyak tugas yang harus tuntas Pap. Pergi dan pulang naik kereta dan menumpang mobil bapak banyak menyita waktu produktif saya. Saya juga gak bisa buka laptop lama-lama di dalam mobil, rasanya mual. Di kereta api apalagi. Dapat duduk nyempil aja sudah syukur pap, banyakan berdiri,” jawabnya berusaha meyakinkan saya mengenai tujuannya meminta izin tinggal di tempat kost dekat tempat kerjanya untuk sementara.
“Oke, hari Sabtu dan Minggu kita cari tempat kost, biar hari Senin sudah bisa efektif memulai hari yang lebih produktif,” jawab saya singkat yang membuatnya tampak lebih lega.
Pilihan Tujuan Hidup Yang Dangkal
Ketika tujuan bisa lebih jelas, maka pilihan akan lebih mudah, dan hasilnya pasti berbeda. Ketika putra saya menjelaskan tujuannya untuk ngekost dalam rangka meningkatkan produktifitasnya bulan ini, maka pilihan antara tetap tinggal di rumah atau ngekost menjadi sangat jelas, ngekost adalah pilihan jalan terbaik.
Saya sangat suka dengan ilustrasi yang sering diceritakan Stephen R. Covey di berbagai kesempatan pelatihan yang difasilitasinya. Ia menggambarkan orang yang tidak jelas tujuan hidupnya dengan analogi seseorang yang sibuk menenteng tangga ke sana kemari. Suatu saat dia terlihat menyandarkan tangganya di sebuah dinding dan mendaki tangga itu dengan susah payah.
Begitu tiba di atas, kecewa! Bukan itu yang dicarinya. Susah payah lagi turun dan menenteng tangga lagi mencari dinding lain. Begitulah seterusnya pindah dari satu dinding ke dinding yang lain sembari menumpuk kekecewaan. Saya yakin cara hidup seperti itu melelahkan. Terus terang, sayapun pernah berada pada situasi seperti itu sebelum menyadarinya lalu memilih tujuan hidup yang lebih jelas kemudian menjalaninya lebih ikhlas dan tenang.
Kerancuan dalam penetapan tujuan hidup biasanya terjadi karena dikaitkan dengan sesuatu yang maknanya dangkal, misalnya jabatan, pangkat, status, materi, popularitas dan semacamnya. Itu semua tidak akan membawa kita lebih dekat dengan tujuan utama penciptaan manusia oleh Sang Maha Pencipta.
Kalau jabatan yang dijadikan tujuan hidup, maka semua hal bisa saja dikesampingkan demi mencapai tujuan itu. Menjilat atasan, menyogok pihak penentu jabatan, menyikut atau memfitnah teman kerja, melakukan korupsi yang mempermalukan keluarga, melakukan perbuatan musyrik dengan mendatangi dukun, semuanya demi mencapai tujuan mendapatkan jabatan yang diimpikan. Lihatlah sejumlah mantan pejabat tinggi negeri ini yang kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lihatlah calon anggota legislatif yang berani terang-terangan mendatangi dukun, atau dukun yang terang-terangan berani berpromosi. Semuanya demi apa kalau bukan mengejar jabatan, popularitas, fulus dan semacamnya.
Hasil akhir dari pilihan-pilihan dangkal itu hampir bisa diprediksi. Lalu mengapa masih banyak manusia yang terjebak di dalam memilih tujuan yang mudah diprediksi hasil akhirnya itu? Tidak terkecuali tokoh agama, tokoh pendidikan, penegak hukum dan sebagainya tanpa memilih jenis kelamin. Jawabannya sederhana, mereka menetapkan tujuan hidup lebih banyak berdasarkan “cermin sosial” alias berkaca pada orang lain, bukan bertanya pada diri sendiri. Dan itu dikatagorikan sebagai tujuan hidup yang dangkal.
Tujuan Akhir dan Akhir Kehidupan
Tujuan hidup sebenarnya merentang panjang dari tujuan sangat pendek, pendek, menengah, panjang, sangat panjang sampai pada tujuan akhir.
Andaikata tujuan putra saya meminta ngekost untuk menyenangkan atasannya atau karena takut sama atasannya, saya akan memintanya untuk memikirkannya kembali. Tapi karena ia berpikir untuk meningkatkan produktifitasnya untuk memenuhi amanah tugas yang dibebankan ke pundaknya, saya tidak ada alasan untuk mengatakan jangan.
Itu adalah contoh dari suatu tujuan jangka sangat pendek dalam hidupnya, setidaknya sebulan. Ada yang lebih pendek lagi? Jelas ada. Katakanlah tujuan hidup harian. Selalu berkomitmen agar setiap hari hidupnya memberi manfaat bagi sesama dan lingkungannya. Jangan pernah terjadi dalam sehari mengambil sesuatu yang bukan haknya, meski itu hanya sebatang pinsil atau beberapa lembar kertas milik kantor.
Hulu dari semua tujuan dalam hidup ini seharusnya adalah akhir dari kehidupan yang sementara ini alias kematian. Salah satu bagian yang sangat mengesankan dari pelatihan “7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif” atau judul aslinya “The Seven Habits of Highly effective People” adalah saat dimana setiap peserta diminta untuk menuliskan tujuan akhir dari hidupnya.
Bagaimana caranya? Sangat sederhana. Bayangkan diri anda terbujur kaku di ruang tengah rumah anda atau dimana saja anda biasa membayangkan tubuh anda akan disemayamkan. Bayangkanlah apa kira-kira yang anda harapkan dikatakan oleh orang-orang di sekitar jasad anda. Mulai dari istri atau suami anda (kalau sudah berkeluarga), orangtua anda (kalau masih hidup), saudara laki-laki anda, saudara perempuan anda, tetangga anda, rekan kerja anda, pembantu rumah tangga anda, sopir anda, atasan anda, bawahan anda dan seterusnya.
Dari apa yang anda ingin orang-orang yang disebutkan tadi katakan, tariklah benang merah, kira-kira bagaimana itu semua bisa anda wujudkan, kalaupun tidak persis sama, setidaknya mendekati. Dari rumusan yang anda buat mengenai bagaimana cara mencapainya, selanjutnya buatlah suatu definisi tujuan akhir dari kehidupan ini yang anda impikan untuk anda capai. Tidak perlu sekali jadi, mungkin hanya konsep yang anda terus perbaharui. Simpan dalam secarik kertas di dalam dompet anda dan sempatkan melihatnya kembali minimal sekali dalam seminggu.
Mungkin bagian ini yang belum sempat dilakukan oleh banyak tokoh politik, tokoh spiritual, tokoh pendidikan, tokoh bidang hukum, bisnis dan sebagainya, sehingga mereka tampaknya seperti manusia-manusia immortal alias tidak akan mati, dan karenanya kemaruk menumpuk harta, gila mengejar jabatan dan yang lebih parah, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya saat dia nantinya tak lagi berjalan di atas bumi ini.
-------------- @ben369 -------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H